Thursday, December 30, 2010

Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) IMAM SYAFE’I

Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM)
IMAM SYAFE’I
Kecamatan Cibiru Kota Bandung

LATAR BELAKANG
Pendidikan mempunyai peranan penting dalam peningkatan mutu Sumber Daya Manusia. Meskipun Pemerintah sejak tahun 1986 telah melaksanakan Wajib Belajar Sekolah Dasar 6 tahun dan tahun 1994 ditingkatkan menjadi Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun, akan tetapi hingga dewasa ini belum semua anak usia wajar dapat tertampung di sekolah.
Pelayanan Pendidikan Luar Sekolah Program Pendidikan Dasar sebagai acuan atau pedoman tentang sesuatu yang harus dipenuhi dalam penyelenggaraan program pendidikan dasar jalur Pendidikan Luar Sekolah, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) IMAM SYAFE’I yang menyelenggarakan program Kejar Paket A (Setara SD), Maupun kejar Paket B (Setara SMP), dan kejar Paket C (Setara SMA). Program lainnya antaralain adalah Pendidikan Keaksaraan Fungsional (KF)/Buta Huruf, Bimbingan Belajar Kursus dan privat, Kelompok Pemuda Produktif, Taman Baca Masyarakat (TBM).

Visi dan Misi
Visi :
Terwujudnya masyarakat gemar belajar, berusaha dan bekerja, berakhlak mulia, mandiri serta mampu beradaptasi dengan perubahan local dan global.
Misi :
• Mewujudkan pemerataan dan peningkatan mutu penyelenggaraan program PLS yang berbasis pada kebutuhan masyarakat dan pasar.
• Mewujudkan dan peningkatan mutu penyelenggaraan Pendidikan Berkelanjutan yang berorientasi pada pendidikan mata pencaharian dan keterampilan (life skills) sebagai bekal untuk memasuki lapangan kerja dan usaha mandiri.
• Mewujudkan dan meningkatkan mutu penyelenggaraan Pendidikan Kesetaraan dalam menunjang suksesnya wajib belajar 9 tahun maupun dalam rangka memberikan kesempatan bagi mereka yang karena sesuatu hal terpaksa tidak sekolah.

Motto

Semua Layak Berpendidikan

TUJUAN
1. Memberikan layanan pendidikan kepada waga masyarakat yang tidak terjangkau pendidikan formal, dengan pengetahuan dan keterampilan sesuai standart pelayanan PNF.
2. Meningkatkan kemampuan tenaga pendidik dan kependidikan di PKBM IMAM SYAFE’I agar dapat bekerja optimal dan profesional.
3. Membantu warga masyarakat yang mempunyai keterbatasan waktu dalam mencukupi kebutuhan belajar bagi diri dan keluarga.

SASARAN
1. Sistem manajemen lembaga PKBM Imam Syafe’i.
2. Tenaga tutor dan administrasi PKBM Imam Syafe’i.
3. Warga belajar dan masyarakat lingkungan PKBM Imam Syafe’i.

HASIL YANG AKAN DICAPAI
1. Sistem manajemen lembaga yang rapi dan lengkap sesuai standart PKBM Imam Syafe’i.
2. Kinerja tenaga tutor dan administrasi yang profesional sesuai tupoksi.
3. Meningkatnya layanan kepada masyarakat warga belajar dan umum.

Tuesday, November 30, 2010

SIAP UN FISIKA SMA/MA 2011

Perhatikan materi soal fisika berikut bagi peserta UN SMA/MA yang akan mempelajari Fisika tahun 2011



1. Nilai dan tingkat ketelitian alat ukur fisika dengan gambar alat ukur yang sedang digunakan.
2. Siswa dapat menentukan resultan perpindahan benda berdasarkan data tersaji.
3. Siswa dapat menentukan besaran GLBB dalam sebuah grafik.
4. Siswa dapat menentukan salah satu gaya yang belum diketahui dari berbagai gaya yang bekerja pada sistem sebuah benda.
5. Membandingkan kuat medan gravitasi berdasarkan data benda spasial di atas permukaan bumi.
6. Siswa dapat menentukan letak titik berat benda.
7. Siswa dapat menghitung momen gaya total pada sebuah benda dari gambar sistem dinamika rotasi.
8. Siswa menjelaskan hubungan torsi, momen inersia dalam gerak rotasi.
9. Siswa menghitung usaha benda pada gerak lurus.
10. Siswa menentukan konstanta pegas dari sistem tiga pegas majemuk.
11. Menentukan besaran gerak lurus menggunakan hukum kekekalan energi.
12. Menentukan kecepatan benda dari sistem momentum liniear saat bertumbukan.
13. Menentukan suhu campuran antara dua benda yang bersambungan (konduksi).
14. Menggunakan azas Bernoulli dalam gerak fluida.
15. Hubungan Besaran-besaran dalam persamaan umum gas ideal.
16. Membandingkan besar energi kinetik gas dalam teori kinetik gas.
17. Menjelaskan besaran yang berpengaruh dalam proses termodinamika mesin kalor.
18. Siswa dapat menentukan usaha gas per siklus dari diagram atau data siklus Carnot.
19. Siswa dapat menentukan perbesaran optik mikroskop/ teropong.
20. Siswa dapat menentukan jenis gelombang elektromagnetik berdasarkan periodenya.
21. Menghitung salah satu besaran yang berkaitan dengan gelombang mekanik berjalan.
22. Siswa menentukan besaran terkait dalam difraksi.
23. Siswa dapat menghitung intensitas bunyi di antara dua sumber bunyi yang identik.
24. Membandingkan dua frekuensi yang didengar pengamat yang bergerak pada dua posisi berbeda.
25. Menentukan perbandingan gaya Coulomb antara dua muatan yang berbeda-beda jaraknya.
26. Menentukan letak titik yang kuat medannya bernilai tertentu dari dua muatan listrik pada jarak tertentu.
27. Siswa dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh pada kapasitansi kapasitor.
28. Siswa dapat menunjukkan hasil pembacaan alat ukur listrik dari gambar rangkaian listrik.
29. Menghitung salah satu besaran dalam rangkaian listrik majemuk (dalam loop).
30. Menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya induksi magnetik di sekitar kawat berarus listrik.
31. Menentukan arah gaya magnetik yang dialami kawat/ muatan di dalam medan magnet serbasama.
32. Siswa dapat menghitung besar GGL induksi pada kumparan yang disebabkan perubahan fluks magnetik.
33. Menghitung salah satu besaran dalam rangkaian RLC atau fungsi sinus arus listrik AC dalam rangkaian RLC.
34. Siswa dapat menentukan gambar gelombang sinus tegangan/ arus listrik terhadap waktu dan rangkaian RLC.
35. Siswa dapat membedakan teori-teori atom Thompson, Rutherford, dan Niels Bohr.
36. Menghitung besar energi kulit stasioner saat bertransisi pada energi stasioner kulit -n.
37. Menentukan panjang gelombang dan suhu benda dari hukum pergeseran wien berdasarkan radiasi benda hitam.
38. Siswa dapat menjelaskan isi teori Kuantum Planck.
39. Siswa dapat menghitung energi ikat inti.
40. Siswa dapat mengelompokkan kegunaan radioisotop dalam kehidupan sehari-hari.

Selamat Belajar dan mencoba mencari soal yang ada kaitannya dengan indikator soal di atas.

Friday, November 12, 2010

Perbandingan Pendidikan di neg. Jepang dan Amerika

Perbandingan Pendidikan di neg. Jepang dan Amerika

(WACANA PENDIDIKAN TRADISIONAL DAN MODERN)

(diambil dari http://pakguruonline.pendidikan.net)

Jepang membuat kejutan baru. Kali ini berkaitan dengan sistem dan prestasi di bidang pendidikan. Banyak pengamat pendidikan dan pembangunan di Amerika Serikat melihat bagaimana sistem pendidikan di Jepang telah berhasil mencetak tenaga kerja dengan semangat, motivasi dan watak yang “pas” bagi pembangunan. Sebagai suatu masyarakat yang sepenuhnya mengakui peran pendidikan dalam pembangunan, para ahli di A.S. mulai menengok sistem pendidikan di Jepang, sekaligus mengevaluasi sistem pendidikan di,A.S. sendiri. Maka dibentuklah team Jepang dan A.S. yang bertugas untuk mengevaluasi pertemuan antara Reagan dan Nakasone pada tahun 1983. Pada tanggal 4 Januari tahun 1987, secara serentak di kedua lbu Kota negara diumumkan hasil kerja team tersebut. Team Amerika Serikat mengumumkan 128 halaman laporan yang oleh seorang pejabat di kantor pendidikan di Washington disebut sebagai suatu potret sistem pendidikan yang canggih. Dalam laporan tersebut, sebagaimana dikutip oleh Newsweek, 12 Januari 1987, dikemukakan bahwa murid-murid di Jepang diperkirakan mempunyai IQ yang tinggi, buta huruf sudah tidak dikenal lagi. Di samping itu berdasarkan tes yang telah distandardisir secara internasional ternyata murid-murid SMA di Jepang memiliki skore di bidang matematik dan sain lebih tinggi dari pada murid-murid SMA di A.S. Tambahan lagi, penelitian ini mempertebal keyakinan para pengamat bahwa pendidikan di Jepang telah memainkan peran yang penting dan sangat menentukan dalam pembangunan ekonomi negara pada dua puluh lima tahun terakhir ini. A. Antara Menghafal dan Berfikir Dimana letak kehebatan sistem pendidikan di Jepang ? Para ahli dan pengamat pendidikan boleh kecewa. Ternyata sistem pendidikan Jepang, kalau dilihat dengan kacamata teori pendidikan barat, bisa dikategorikan sebagai suatu sistem pendidikan tradisional. Pemerintah pusat memegang kontrol pendidikan, termasuk menentukan kurikulum yang berlaku secara nasional baik bagi sekolah negeri ataupun sekolah swasta. Pengajaran menekankan hafalan dan daya ingat untuk menguasai materi pelajaran yang diberikan. Materi pelajaran diarahkan agar murid bisa lulus ujian akhir atau test masuk ke sekolah lebih tinggi, tidak mengembangkan daya kritis dan kemandirian murid. Semua murid diperlakukan sama, tidak ada treatment khusus untuk murid yang tertinggal. Sekolah menekankan pada diri murid sikap hormat dan patuh kepada guru dan sekolah. Dengan singkat sistem pendidikan Jepang dapat dikatakan suatu sistem pendidikan yang “kaku, seragam dan tiada pilihan bagi anak didik”. Di fihak lain, sebanyak 78 halaman laporan team Jepang antara lain menyatakan pujiannya atas fleksibilitas sistem pendidikan Amerika Serikat. Di samping itu, juga disebut dan bahwa meski anak didik di Jepang memiliki prestasi lebih tinggi dari pada prestasi anak Amerika, namun hal itu dicapai dengan pengorbanan yang tidak ringan. Antara lain murid-murid di Jepang tidak bisa “menikmati” enaknya sekolah. Sebab dari waktu ke waktu anak didik di Jepang dikejar-kejar oleh pekerjaan rumah, ulangan dan ujian. Hasilnya murid-murid Amerika lebih independent dan innovative dalam berfikir, dan juga sudah barang tentu lebih bahagia dibandingkan dengan anak-anak didik di Jepang. Namun demikian, kuranglah tepat kalau secara tegas ditarik kesimpulan bahwa sistem pendidikan yang menekankan disiplin dan hafalan serta daya ingat sebagaimana yang diterapkan di Jepang lebih hebat dari pada sistem pendidikan yang menekankan kebebasan, kemandirian dan kreatifitas individual sebagaimana yang diterapkan di Amerika Serikat. Dibalik sistem pendidikan di Jepang yang kaku dan seragam tersebut sebenarnya ada beberapa hal yang patut dicatat. Pertama, dengan menegakkan disiplin patuh terhadap guru dan sekolah menyebabkan anak didik di Jepang secara riil menggunakan waktu sekolah lebih besar dari pada anak-anak sekolah di Amerika Serikat. Kedua, sistem pendidikan di Jepang telah berhasil melibatkan orang tua anak didik dalam pendidikan anak-anaknya. lbu, khususnya senantiasa memperhatikan, memberikan pengawasan dan bantuan belajar kepada anak-anaknya. Tambahan lagi, lbu-ibu ini terus secara berkesinambungan membuat kontak dengan para guru. Ketiga, di luar sekolah berkembang kursus-kursus yang membantu anak didik untuk mempersiapkan ujian atau mendalami mata pelajaran yang dirasa kurang. Keempat, status guru dihargai dan gaji guru relatif tinggi. Hal ini mengakibatkan pekerjaan guru mempunyai daya tarik. Di fihak lain, pendidikan di Amerika tidaklah sebagaimana digambarkan orang, dimana anak didik mempunyai kesempatan yang luas untuk mengembangkan kreatifitasnya. Penelitian nasional yang dilakukan oleh Goodlad yang kemudian diterbitkan menjadi buku yang berjudul “A Place called school” ternyata menunjukkan sesuatu yang lain. Antara lain disebutkan ternyata hanya sekitar 5 % dari waktu jam pelajaran yang digunakan untuk berdiskusi. Sebagian besar waktu, sekitar 25 % untuk mendengarkan keterangan guru, sekitar 17 % waktu untuk mencatat dan sisa waktu yang lain untuk praktek, mempersiapkan pekerjaan dan test. Jadi dengan kata lain, sistem pendidikan di Amerika tidak sepenuhnya berjalan sebagaimana dicita-citakan para ahli. B. Kiblat Pendidikan Membaca laporan kedua team di atas, setidak-tidaknya memberikan nuansa baru. Yakni bahwa sistem pendidikan untuk suatu bangsa harus sesuai dengan falsafah dan budayanya sendiri. Mengambil alih suatu sistem atau gagasan dibidang pendidikan dari bangsa lain harus dikaji penerapannya dengan latar belakang budaya yang ada. Sebagai contoh, sekarang ini dunia pendidikan Indonesia sedang dilanda semangat untuk mengetrapkan sistem pengajaran yang menekankan “proses”, dengan metode pengajaran yang disebut “Inquiry Teaching Method”. Metode ini sangat ampuh untuk meningkatkan critical thinking anak didik. Tapi dalam praktek metode ini sulit untuk bisa diterapkan di kelas kelas di Indonesia. Mengapa ? Sebab metode ini menuntut adanya suasana yang bebas di kelas dan anak didik memiliki semangat untuk mencari kebenaran dan keberanian untuk mengutarakan gagasannya. Dan hal ini yang belum dimiliki oleh kelas-kelas dinegara kita. Oleh karena itu gagasan menerapkan metode inquiry perlu didahului mengembangkan kondisi-kondisi yang diperlukan. Misalnya dengan mulai menerapkan di tingkat sekolah dasar kelas satu. Atau, malahan sebaliknya, lebih baik memantapkan pelaksanaan pengajaran dengan metode yang sudah dikenal tetapi sebenarnya belum dilaksanakan sebagaimana mestinya. Sebagaimana yang pernah penulis temui pada suatu pertemuan dengan guru-guru sekolah menengah yang menyatakan “Apakah tidak sebaiknya kita mencoba untuk mengembangkan bagaimana cara mengajarkan dengan metode ceramah yang efektif, dari pada menggunakan metode baru yang masih sangat asing ?” Nampaknya, kiblat pendidikan tidak hanya Amerika Serikat, kita perlu berkiblat juga ke Jepang dalam rangka menyusun dan mengembangkan sistem pendidikan yang cocok dengan falsafah dan budaya Indonesia. 1.2. Konsep Pendidikan Desentralisasi, dan De-Berlinisasi Persoalan yang kini dihadapi oleh banyak negara, termasuk Indonesia, adalah bagaimana meningkatkan kualitas pendidikan. Kualitas pendidikan umumnya dikaitkan dengan tinggi rendahnya prestasi yang ditunjukkan dengan kemampuan siswa mencapai skore dalam tes dan kemampuan lulusan mendapatkan dan melaksanakan pekerjaan. Kualitas pendidikan ini dianggap penting karena sangat menentukan gerak laju pembangunan di negara manapun juga. Oleh karenanya, hampir semua negara di dunia menghadapi tantangan untuk melaksanakan pembaharuan pendidikan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan. A. Desentralisasi Untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Amerika Serikat, Friedman ekonom yang pernah menjabat sebagai penasehat ekonomi Reagan menyarankan agar sekolah-sekolah negeri dihapuskan sebab sumber dari rendahnya mutu pendidikan pada dasarnya adalah sekolah negeri itu sendiri yang keberadaannya sangat tergantung kepada anggota Pemerintah sehingga motivasi untuk mencapai prestasi pendidikan pada sekolah-sekolah negeri tersebut rendahnya. Sebagai ganti sistem sekolah negeri, pemerintah mengembangkan sistem “voucher”, yakni pemerintah memberikan bantuan pendidikan kepada masyarakat dengan memberikan voucher, dimana pemegang voucher dapat memilih sekolah yang diinginkan. Sekolah pada gilirannya akan menukar voucher dengan uang kepada pemerintah. Dengan system voucher ini akan terjadi kompetisi di antara sekolah-sekolah. Sekolah yang bermutu tinggi akan banyak mendapatkan uang. Dan sebaliknya sekolah yang bermutu rendah akan miskin muridnya, miskin voucher yang berarti miskin uang. Lebih lanjut, karena sebagian besar keuangan sekolah bersumber dari voucher ini, maka sekolah yang tidak laku akan gulung tikar secara alamiah. Sekolah yang bisa terus hidup adalah sekolah yang bermutu tinggi. Sudah barang tentu sebagai ekonom yang terkenal berpandangan liberal, ide Friedman tentang voucher ini bersumberkan dari ide “free fight competition”. Dari ide voucher ini nampak jelas bahwa sekolah harus diorganisir dengan desentralisasi, malahan sangat ekstrim, masing-masing sekolah mempunyai kemandirian dalam melaksanakan pendidikan. Ide yang berkembang di Sovyet pada hakekatnya tidak jauh dengan ide Friedman di atas. Untuk meningkatkan pembangunan masyarakat sosialis di Uni Sovyet sistem pendidikan negara yang bersangkutan diusulkan untuk diperbaharui. Yegor Ligachev, orang nomor dua di Sovyet setelah Mikhail Gorbachev, menilai bahwa mutu pendidikan di negara “beruang merah” tersebut tidak lagi sepenuhnya sejalan dengan perkembangan yang ada. Artinya, sistem pendidikan yang ada tidak bisa lagi berperan secara maksimal sebagaimana yang diharapkan. Oleh karenanya, Ligachev mengusulkan terdapat usaha yang terus menerus untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Tetapi, boleh juga dipertanyakan, betulkah adanya desentralisasi akan meningkatkan kualitas pendidikan di negara kita? Tidaklah mudah menjawab pertanyaan tersebut. Hal ini dikarenakan, pertama kebijaksanaan desentralisasi memerlukan pelaksana-pelaksana yang bertanggungjawab, inovatif, kreatif, dan berjiwa mandiri. Karena pengalaman dibawah sistem pendidikan sentralisasi yang cukup lama dan berlebihan, maka pelaksanaan pendidikan dengan sifat-sifat di atas tidak banyak. pelaksanaan pendidikan kita sudah terbiasa dengan instruksi, juklak dan dan juknis. Sehingga adanya kebijaksanaan desentralisasi setidak-tidaknya untuk waktu tertentu akan menimbulkan kemandegan dalam dunia pendidikan. Kedua, desentratisasi mungkin bisa untuk meningkatkan kualitas pendidikan dalam arti meningkatkan penguasaan anak atas mata pelajaran yang diberikan sebagaimana ditunjukkan oleh skore tes, tetapi desentralisasi belum merupakan jaminan bisa ditingkatkan eksternal effisiensi, dalam arti lulusan sekotah bisa mendapatkan dan melakukan pekerjaan sebagaimana seharusnya. B. De-berlinisasi Apabila disebut Berlin, maka gambaran yang ada pada benak kita adalah hadirnya suatu tembok yang kokoh dan kuat yang berada di Jerman. Tembok tersebut betul-betul memisahkan Berlin bagian barat dan Berlin bagian timur secara total. Tembok yang kokoh kuat sebagaimana tembok Berlin tersebut muncul dan memisahkan “dunia pendidikan”.di satu fihak dan “dunia kerja” di fihak lain. Adanya tembok pemisah tersebut menjadikan adanya kesenjangan antara kedua dunia tersebut. Akibatnya, hubungan antara dunia pendidikan dan dunia kerja tidak harmonis. Kemajuan yang terjadi di dunia kerja tidak bisa cepat disadap oleh dunia pendidikan. Akibatnya, apa yang dihasilkan dunia pendidikan tidak cocok dengan kebutuhan dunia kerja. Dan, adanya pengangguran bersamaan kekurangan tenaga kerja di dunia kerja tidak bisa dielakkan lagi. Penghilangan tembok pemisah antara dunia kerja dan dunia pendidikan atau deberlinisasi ini sangat diperlukan untuk melengkapi desentralisasi. Sebab desentralisasi hanya akan meningkatkan kualitas pendidikan dalam arti meningkatkan penguasaan pelajaran, tetapi bukan meningkatkan kemampuan bekerja. De-berlinisasi berarti memberikan kesempatan orang-orang dari dunia pendidikan untuk mendapatkan sesuatu yang riil dari dunia kerja, sebaliknya orang-orang dari dunia kerja bisa mendapatkan informasi- informasi dari dunia pendidikan yang dapat digunakan untuk meningkatkan produktivitas dunia kerja. Pelaksanaan deberlinisasi dalam ujud konkret dapat dilakukan dengan memberikan kesempatan yang luas dan mudah orang-orang dari dunia pendidikan untuk praktek kerja, observasi dan magang di dunia kerja. Demikian pula, tenaga-tenaga ahli dari dunia kerja diajak untuk mengembangkan kurikulum, pendidikan, bahkan sudah masanya mereka ini diundang masuk ke dunia pendidikan. Hal ini dapat dilakukan di mana dunia kerja menyumbangkan tenaga ahli yang berpengalaman untuk pada waktu tertentu menjadi staf pengajar luar biasa di lembaga pendidikan. Kehadiran tenaga dari dunia kerja ini tidak hanya akan menjadikan apa yang disampaikan sangat menarik sehingga meningkat aspek kognitif mahasiswa atau siswa, tetapi yang lebih penting lagi, kehadirannya akan membawa semangat dan mentalitas dunia kerja ke dalam dunia pendidikan. Nampaknya usaha peningkatan kualitas pendidikan sangat besar perannya bagi peningkatan pembangunan bangsa. Dan peningkatan kualitas tidak cukup hanya dengan kebijaksanaan desentralisasi di bidang pendidikan, tetapi harus juga diiringi dengan penjebolan tembok pemisah antara dunia pendidikan dan dunia kerja. 1.3. Restrukturisasi Pendidikan Pada hakekatnya, struktur dan mekanisme praktek pendidikan yang tengah kita laksanakan berdasarkan pada pembaharuan pendidikan yang lahir di Amerika Serikat pada tahun 50-an yang hanya menitikberatkan pada metode agar siswa menguasai basic skills dan mata pelajaran yang diajarkan. Struktur dan mekanisme praktik pendidikan tersebut dalam implementasinya di negara-negara sedang berkembang menghasilkan suatu sistem pendidikan yang tidak sensitive terhadap ide-ide baru dan perkembangan masyarakat, khususnya perkembangan dunia kerja. Seperti, pendidikan mengabaikan ide-ide baru tentang peran pendidikan dalam masyarakat yang berubah atau era globalisasi sistem pendidikan mengabaikan hakekat peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik tertentu, pendidikan mengabaikan adanya kecenderungan perkembangan demokrasi dari demokrasi formal ke arah demokrasi substansial. Ditinjau berdasarkan paradigma pendidikan: lnput-Proses-Output, struktur dan mekanisme praktik pendidikan yang dilaksanakan tersebut terlalu menekankan aspek proses. Hal ini tidak aneh karena pengambil kebijaksanaan mendasarkan pada premis bahwa kalau proses berjalan dengan baik secara otomatis akan menghasilkan output yang berkualitas. Oleh karena itu, kebijaksanaan yang diputuskan adalah mengatur proses dengan mengembangkan kebijakan agar para guru dapat dan harus melaksanakan perilaku sebagaimana yang telah ditentukan sehingga proses dapat berjalan sebagaimana yang telah dirancang dan diyakini akan menghasilkan output yang berkualitas. Para pengambil kebijaksanaan tidak pernah membayangkan atau tidak mau tahu bahwa proses pendidikan tidak dapat diseragamkan. Terlalu banyak variasi yang tidak memungkinkan seragamisasi proses pendidikan tersebut. A. “Teaching Vs Learning” Struktur dan mekanisme praktik pendidikan yang terlalu menekankan pada proses melahirkan proses pendidikan lebih sebagai “proses pengajaran oleh guru” (teacher teaching) dibandingkan yang seharusnya sebagai “proses pembelajaran oleh murid” (student learning). Guru harus melaksanakan tugas dengan metode yang telah ditentukan sebagaimana “petunjuk dari atas”, terlepas guru suka atau tidak terhadap perilaku tersebut, cocok atau tidaknya metode tersebut dengan materi yang harus disampaikan di depan peserta didik. Guru harus menggunakan metode tersebut karena suatu “perintah” atasan. Oleh karena itu, muncullah robot- robot yang mengajarkan di kelas (robotic teacher). Konsekuensi lebih lanjut adalah muncul iklim sekolah yang cenderung bersifat otoriter. lklim yang tidak demokratis ini menyebabkan proses sekolah menjadi statis dan beku serta menimbulkan efek destruktif pada “keingintahuan, kepercayaan diri, kreatifitas, kebebasan berfikir, dan self-respect” di kalangan peserta didik. Sudah barang tentu struktur dan mekanisme praktik pendidikan sebagaimana tersebut di atas tidak akan sanggup menghadapi masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, restrukturisasi dan deregulasi pendidikan merupakan tunututan yang perlu segera dilaksanakan agar pendidikan bisa berperan secara maksimal dalam menghadapi tantangan pembangunan nasional, di masa kini dan di masa mendatang. C. Kebebasan dan Otonomi Restrukturisasi dan deregulasi pendidikan yang diperlukan adalah mencakup empat aspek: a). Orientasi pembelajaran siswa, b). Profesionalitas guru, c). Accountability sekolah, dan d). Partisipasi orang tua peserta didik dan masyarakat sekitar dalam penyelenggaraan pendidikan. Dilihat dari paradigma pendidikan, Input-Proses-Output, tiga aspek pertama menyangkut aspek input dan aspek keempat menyangkut output. Dengan demikian, restrukturisasi dan deregulasi pendidikan lebih mengarah pada pembenahan aspek input daripada aspek proses. Secara spesifik restrukturisasi dan deregulasi pendidikan ditujukan untuk meningkatkan komitmen dan kompetensi guru dan murid untuk mencapai prestasi setinggi mungkin. Komitmen dan kompetensi guru diharapkan terutama adalah bahwa guru harus memiliki pemahaman yang mendalam atas materi yang akan disampaikan (Depth of Understanding) dan mampu menyampaikan materi dengan penuh kreatifitas dan improvisasi yang orisinil, sehingga proses belajar mengajar terasa segar dan alami (authentic learning). Sudah barang tentu komitmen dan kompetensi guru semacam itu banyak dipengaruhi proses yang terjadi pada pre-service training pada lembaga pendidikan guru. Oleh karena itu, kebijakan yang perlu dikembangkan pada pasca proses pendidikan guru adalah mengembangkan kemandirian guru dan memberikan otonomi serta kebebasan yang lebih luas pada sekolah dan guru. Sebagai pekerja profesional dan orang yang paling tahu keadaan peserta didik dan lingkungannya, guru harus diberikan kebebasan penuh dalam menjalankan tugas. lnstruksi, pengarahan, dan petunjuk dari atas perlu direduksir semaksimal mungkin. Kalau guru mendapatkan otonomi dan kepercayaan penuh mereka akan memiliki rasa tanggung jawab yang lebih besar dalam mencapai keberhasilan pendidikan. Demikian juga, otonomi ini akan memungkinkan guru mempergunakan kemampuan dan pengalaman profesional yang mereka miliki secara penuh dalam proses belajar mengajar. Dengan otonomi dan kebebasan dalam menjalankan proses pembelajaran (learning process), guru akan lebih berhasil dibandingkan kalau guru hanya terpaku pada petunjuk dan pengerahan teknik dari birokrat kantoran (the office level bereucrat) yang dalam banyak hal tidak praktis dan terlalu teoritis. Demikian pula dengan adanya otonomi dan kebebasan yang dimiliki sekolah, guru memiliki lebih banyak kesempatan untuk merencanakan kerja sama di sekolah, mengarahkan peserta didik agar lebih banyak individual atau kelompok kecil dibandingkan dalam proses belajar mengajar kelompok besar dan dari itu sekolah akan dapat diciptakan sebagai dunianya peserta didik sendiri. D. Partisipasi Masyarakat Dibalik otonomi dan kebebasan yang dimiliki, kepada guru diberikan target yang harus dicapai sebagai standar keberhasilan. Sudah barang tentu target tersebut adalah keberhasilan untuk semua peserta didik tanpa membedakan latar belakang sosial ekonomi yang dimiliki, mencapai prestasi pada tingkat tertentu. Target bisa dikembangkan pada berbagai skop sekolah. Dengan adanya target sebagai standar, masyarakat bisa ikut mengevaluasi seberapa jauh keberhasilan sekolah dalam mencapai tujuan. Terbukanya kesempatan bagi masyarakat dan orangtua peserta didik untuk mengevaluasi proses pendidikan, memungkinkan munculnya partisipasi masyarakat sekitar dan khususnya orangtua peserta didik dalam menyelenggarakan pendidikan. Misalnya, sekolah bisa mengundang orangtua dan masyarakat sekitar untuk berpartisipasi dalam menentukan kebijakan dan operasionalisasi kegiatan sekolah. Orangtua dan masyarakat sekitar yang mampu bisa diajak untuk berpartisipasi dalam pembiayaan pendidikan. Dengan demikian, pada level makro, secara nasional bisa dilaksanakan realokasi anggaran pembangunan pendidikan. Anggaran pendidikan pemerintah yang terbatas hanya diarahkan pada sekolah-sekolah yang memiliki peserta didik dengan latar belakang yang kurang mampu. Sedangkan bagi sekolah-sekolah yang peserta didiknya terdiri dari orangtua berlatar belakang sosial ekonomi relatif kaya, diharapkan bisa self-supporting dalam pembiayaan sekolah. Bahkan tidak hanya masyarakat sekitar, karena target dan standar yang harus memiliki skop regional dan daerah, maka pemerintah daerah akan secara langsung terlibat dalam menyukseskan pendidikan di wilayah masing-masing. Diharapkan pemerintah setempat bisa mengeluarkan berbagai kebijakan yang mendukung pencapaian target pendidikan tersebut. Misalnya, pemerintah kelurahan menetapkan “jam belajar” bagi anak usia tertentu. Pada jam-jam tersebut anak-anak tidak boleh bermain. Dengan kata lain pelayanan kemasyarakatan perlu dikaitkan dengan proses pendidikan. Kepada setiap sekolah dan guru diberikan kebebasan apa yang harus dilakukan dalam proses pembelajaran. Yang penting adalah pencapaian target yang telah ditentukan, dengan kata lain proses pendidikan bersifat product oriented, berlawanan process oriented, yang dilakukan sekarang ini. Untuk mencapai target yang telah ditentukan kepada guru perlu diberikan insentif dan sekaligus sanksi. Insentif diberikan kepada guru yang berhasil melampaui target yang telah ditentukan. Sebaliknya, sanksi diberikan kepada guru yang melakukan tindak kecurangan, misalnya mengubah, menambah atau memalsu nilai hasil pembelajaran peserta didik. 1.4. Paradigma Baru Pengajaran Selama masih ada kesenjangan antara hasil pendidikan dengan kebutuhan tenaga kerja, ada kesenjangan harapan akan prestasi yang ada, selama itu pula problema pendidikan senantiasa dibicarakan dan gaung tuntutan pembaharuan pendidikan akan terus bergema. Ada dua pendekatan yang dapat digunakan membedah problem kependidikan: macrocosmic dan microcosmic. Macrocosmic merupakan pendekatan yang bersifat makro, di mana proses pendidikan dianalisis dalam kerangka yang lebih luas. Dalam arti, proses pendidikan harus dianalisis dalam kaitannya dengan proses di bidang lain. Sebab proses pendidikan tidak bisa dipisahkan dari lingkungan, baik politik, ekonomi, agama, budaya, dan sebagainya. Oleh karenanya pendekatan ini menekankan bahwa usaha-usaha memecahkan problema di bidang pendidikan tidak ada artinya kalau tidak dikaitkan dengan perbaikan dan penyesuaian di bidang lain. Pendekatan microcosmic melihat pendidikan sebagai suatu kesatuan unit yang hidup di mana terdapat interaksi di dalam dirinya sendiri. interaksi yang terjadi tersebut berupa proses belajar mengajar yang terdapat di kelas. Pendekatan ini memandang interaksi guru dan murid merupakan faktor pokok dalam pendidikan. Oleh karenanya, menurut pendekatan mikro ini, perbaikan kualitas pendidikan hanya akan berhasil kalau ada perbaikan proses belajar mengajar atau perbaikan dalam bidang keguruan. A. Paradigma ilmu keguruan Proses belajar mengajar di mana interaksi murid-guru dilaksanakan secara sadar untuk mencapai tujuan tertentu yang telah ditargetkan disebut sebagai ilmu keguruan. Ilmu ini bisa diklasifikasi sebagai bagian dari ilmu kependidikan. Ilmu keguruan memiliki paradigma yang berkaitan dengan pertanyaan apa dan siapa murid ?, apa dan siapa guru, apa fungsi guru? apa materi pengajaran itu?, ke mana anak akan dibawa?, apa indikator keberhasilan anak didik? bagaimana mengevaluasi keberhasilan tersebut? Ilmu keguruan yang berkembang dan dipraktekkan di tanah air kita, memandang anak didik sebagai seorang individu yang belum dewasa, memiliki pengetahuan dan keterampilan. Jadi, dalam proses interaksi guru-murid, anak didik merupakan obyek. Sedangkan guru merupakan sumber ilmu dan keterampilan, dimana kehadirannya di muka kelas merupakan suatu kondisi mutlak yang harus ada agar proses belajar mengajar berlangsung. Karena guru memegang peran yang penting dalam proses interaksi tersebut, maka guru harus dihormati dan dipatuhi. Apa yang diajarkan guru sudah tercantum dalam kurikulum atau sudah dideskripsikan dalam buku yang sudah tersedia. Pengembangan pembahasan materi sesuai dengan perkembangan lingkungan dan pembahasan teori dalam kaitan dengan realitas yang ada tidak begitu mendapatkan tekanan. Sebab pembahasan materi pelajaran terletak pada materi itu sendiri. Sebagai hasil proses belajar mengajar yang penting tidak saja anak didik memiliki kemampuan, pengetahuan, keterampilan, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana anak didik mendapatkan pengetahuan atau keterampilan tersebut. Program-program pembaharuan pendidikan, misalnya pembaharuan kurikulum atau sekolah pembangunan, yang merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan, merupakan program-program yang didesain dengan acuan paradigma di atas. Sejauh ini, belum ada program-program pembaharuan pendidikan yang berhasil dalam memecahkan problem pendidikan. Mengapa? Jawaban atas pertanyaan mangapa ini bisa panjang. Misalnya, dari aspek perencanaan, hampir semua pembaharuan pendidikan tidak direncanakan secara mantap karena kurang didasarkan pada hasil penelitian yang solid. Aspek monitoring juga lemah, hal ini ditunjukkkan dengan adanya program pembaharuan pendidikan yang berlangsung cukup lama tidak pernah dievaluasi tahu-tahu program tersebut dihentikan. Di samping itu, dan ini yang lebih penting, adalah bahwa kegagalan program-program pembaharuan pendidikan di tanah air terletak pada paradigmanya sendiri. Artinya paradigma ilmu keguruan yang diterapkan di tanah air kita ini sudah tidak bisa digunakan untuk memecahkan problem kependidikan yang kita hadapi. Dalam bukunya The Structure of Scientific Revolution, Thomas Kuhn mengemukakan bahwa ilmu pengetahuan selalu mengalami perkembangan. Perkembangan ini dimulai dengan adanya “krisis”, di mana kemapanan ilmu dipertanyakan. Yang kemudian diikuti dengan usaha untuk merubah secara mendasar ilmu pengetahuan tersebut dengan mempertanyakan dan mengembangkan paradigma baru. Dalam kaitan dengan pembahasan interaksi murid-guru, nampaknya krisis ilmu keguruan untuk memecahkan problema pendidikan dewasa ini patut dipertanyakan. Oleh karenanya, sudah saatnya diperlukan adanya keberanian dari para ahli, terutama mereka yang berkecimpung dalam keguruan, untuk mempertanyakan paradigma lama dan mengembangkan paradigma baru. B. Paradigma baru pengajaran Angin segar di bidang keguruan telah bertiup dari Cianjur. Di mana di kabupaten ini di sekolah-sekolah dasar sudah diterapkan metode mengajar cara belajar siswa aktif yang dikenal dengan CBSA, sebagai kebalikan dari cara mengajar DDCH (duduk, diam, catat, hafal) atau CMGA cara mengajar guru aktif). Kalau dikaji secara mendalam sesungguhnya CBSA mendasarkan pada paradigma baru. Murid dalam metode CBSA bukan dianggap obyek pendidikan, melainkan sebagai subyek pendidikan. Sesungguhnya yang penting bukan saja pengetahuan atau keterampilan akan diperoleh, melainkan juga bagaimana cara memperoleh pengetahuan atau keterampilan tersebut. Guru bukan merupakan satu-satunya sumber pengetahuan. Malahan, guru hanya berfungsi sebagai fasilitator. Apa yang dikemukakan oleh guru masih bersifat “hypothetical”. Oleh karena itu murid perlu menguji kebenaran apa yang dikemukakan oleh guru. Dalam mengajar guru tidak terpancang pada materi yang termaktub dalam kurikulum, melainkan guru akan aktif untuk mengkaitkan kurikulum dengan lingkungan yang dihadapi siswa. Baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Pembaharuan pengajaran yang mendasarkan pada paradigma baru tersebut di Cianjur telah menunjukkan hasil-hasil yang menggembirakan. Dalam bidang prestasi akademik nilai rata-rata NEM untuk daerah Cianjur mencapai 33,88 sedangkan untuk daerah Jawa Barat secara keseluruhan rata-rata NEM hanya mencapai 26,25. Pada aspek perilaku, lulusan SD Cianjur yang sekarang ini sudah di SMP mempunyai ciri-ciri , antara lain, (a) di kelas mereka aktif baik dalam mengajukan pertanyaan maupun dalam mencari bahan-bahan pelajaran yang mendukung apa yang tengah dipelajari, (b). mereka ini bisa bekerjasama dengan membuat kelompok-kelompok belajar, (c). mereka ini bersifat demokratis, berani menyampaikan gagasan, mempertahankan gagasan dan sekaligus berani pula menerima gagasan orang lain, dan (d) di samping mampu bekerjasama, mereka memiliki kepercayaan diri yang besar. Melihat kehidupan sekolah dasar di Cianjur betul-betul melihat dunia anak : dinamis, aktif dan gembira. Sekolah bagi anak bukan merupakan tempat menakutkan ataupun menjemukan. Dari sekolah dasar semacam inilah akan dapat diharapkan munculnya pribadi yang mandiri dan demokratis. Tetapi masalahnya, bagaimana pembaharuan di bidang pengajaran dengan CBSA ini dapat disebarluaskan di seluruh Indonesia? Masalahnya tidaklah gampang, mengingat pelaksanaan CBSA memerlukan perubahan-perubahan total pada diri siswa maupun guru. Khusus, di fihak guru dituntut untuk memiliki “Duit” (Dedikasi yang lebih tinggi, Usaha yang lebih keras, lkhlas, dan Tekun). Karena melaksanakan proses belajar-mengajar dengan CBSA guru harus lebih aktif, khususnya dalam mempersiapkan bahan pelajaran, merencanakan proses yang akan dilaksanakan, mempersiapkan evaluasi dan tindak lanjut. Dan itu semua harus dilaksanakan dalam kondisi di mana secara ekonomis tidak akan menghasilkan apa-apa. Keberhasilan disiminasi proses belajar mengajar dengan pendekatan CBSA di seluruh tanah air merupakan jembatan menuju revolusi ilmu keguruan. 1.5. Agenda Reformasi Pendidikan Sejarah perkembangan ekonomi di banyak negara industri telah membuktikan tesis human investment, pentingnya peran kualitas sumber daya manusia dalam pembangunan. Berdasarkan tesis tersebut telah muncul strategi pembangunan yang dikenal dengan istilah human-reseources based economic development, yang telah dipraktekkan dan mengantar negara-negara, seperti Taiwan, Korea Selatan, Singapore menjadi negara-negara industri baru. Dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia. Pendidikan memegang peran yang penting. Sumber daya manusia yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan bangsa hanya akan lahir dari sistem pendidikan yang berdasarkan filosofis bangsa itu sendiri. Sistem pendidikan cangkokan dari luar tidak akan mampu memecahkan problem yang dihadapi bangsa sendiri. Oleh karena itu, upaya untuk melahirkan suatu sistem pendidikan nasional yang berwajah Indonesia dan berdasarkan Pancasila harus terus dilaksanakan dan semangat untuk itu harus terus menerus diperbaharui. Tantangan utama bangsa Indonesia dewasa ini dan di masa depan adalah kemampuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Dalam kaitan ini menarik untuk dikaji bagaimana kualitas pendidikan kita dan upaya apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan sehingga bisa menghasilkan sumber daya manusia yang lebih berkualitas sebagaimana diharapkan, agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang produktif, efisien, dan memiliki kepercayaan diri yang kuat sehingga mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain dalam kehidupan global ini. A. Kecenderungan Globalisasi Proses globalisasi akan terus merebak. Tidak ada satu wilayahpun yang dapat menghindari dari kecenderungan perubahan yang bersifat global tersebut, dengan segala berkah, problem dan tantangan-tantangan yang menyertainya. Pembangunan pendidikan harus mengantisipasi kecenderungan-kecenderungan global yang akan terjadi. Beberapa kecenderungan global yang perlu untuk diantisipasi oleh dunia pendidikan antara lain adalah: Pertama, proses investasi dan re-investasi yang terjadi di dunia industri berlangsung sangat cepat, menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan yang sangat cepat pula pada organisasi kerja, struktur pekerjaan, struktur jabatan dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan. Sebaliknya, praktek pendidikan tradisional berubah sangat lambat, akibatnya mismacth education and employment cenderung semakin membesar. Kedua, perkembangan industri, komunikasi dan informasi yang semakin cepat akan melahirkan “knowledge worker” yang semakin besar jumlahnya. Knowledge worker ini adalah pekerjaan yang berkaitan erat dengan information processing. Ketiga, berkaitan dengan dua kecenderungan pertama, maka muncul kecenderungan bahwa pendidikan bergeser dari ide back to basic ke arah ide the forward to future basics, yang mengandalkan pada peningkatan kemampuan TLC (how to think, how to learn and how to create). How to think menekankan pada pengembangan critical thinking, how to learn menekankan pada kemampuan untuk bisa secara terus menerus dan mandiri menguasai dan mengolah informasi, dan how to create menekankan pada pengembangan kemampuan untuk dapat memecahkan berbagai problem yang berbeda-beda. Keempat, berkembang dan meluasnya ide demokratisasi yang bersifat substansi, yang antara lain dalam dunia pendidikan akan terwujud dalam munculnya tuntutan pelaksanaan school based management dan site-specific solution. Seiring dengan itu, karena kreatifitas guru, maka akan bermunculan berbagai bentuk praktek pendidikan yang berbeda satu dengan yang lain, yang kesemuanya untuk menuju pendidikan yang produktif, efisien, relevan dan berkualitas. Kelima, semua bangsa akan menghadapi krisis demi krisis yang tidak hanya dapat dianalisis dengan metode sebab-akibat yang sederhana, tetapi memerlukan analisis system yang saling bergantungan. Kecenderungan-kecenderungan tersebut di atas menuntut kualitas sumber daya manusia yang berbeda dengan kualitas yang ada dewasa ini. Muncul pertanyaan mampukah praktek pendidikan kita menghasilkan lulusan dengan kualitas yang memadai untuk menghadapi kecenderungan-kecenderungan di atas? B. Praktek pendidikan dewasa ini Orientasi pendidikan suatu bangsa akan menunjukkan bagaimana praktek pendidikan berlangsung, dan pada tahap berikutnya akan dapat dijadikan dasar untuk meramalkan kualitas lulusan yang ditelorkan oleh praktek pendidikan tersebut. Setiap orientasi pendidikan dapat dikaji berdasarkan empat dimensi yang ada, yakni dimensi status anak didik, dimensi peran guru, dimensi materi pengajaran dan dimensi manajemen pendidikan. Masing-masing dimensi mempunyai dua kutub ekstrim yang terentang secara kontinyu. Dimensi status anak didik terentang dari anak didik berstatus sebagai obyek atau klien dan anak didik berstatus sebagai subyek atau sebagai warga dalam pendidikan. Dimensi orientasi pendidikan kedua adalah fungsi guru. Dimensi ini terentang dari kutub fungsi guru sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan indoktrinator sampai pada kutub lain guru sebagai fasilitator dan motivator dalam proses pendidikan. Dimensi yang ketiga adalah materi pendidikan, yang memiliki rentang dari materi bersifat materi oriented atau subject oriented sampai problem oriented. Dimensi keempat, manajemen pendidikan terentang dari manajemen yang bersifat sentralistis sampai manajemen yang bersifat desentralistis atau school-based management. Orientasi pendidikan kita cenderung memperlakukan peserta didik berstatus sebagai obyek atau klien, guru berfungsi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan indoktrinator, materi bersifat subject oriented, manajemen bersifat sentralistis. Orientasi pendidikan yang kita pergunakan tersebut menyebabkan praktek pendidikan kita mengisolir diri dari kehidupan yang riil yang ada di luar sekolah, kurang relevan antara apa yang diajarkan dengan kebutuhan dalam pekerjaan, terlalu terkonsentrasi pada pengembangan inteiektual yang tidak berjalan dengan pengembangan individu sebagai satu kesatuan yang utuh dan berkepribadian. Proses belajar mengajar didominasi dengan tuntutan untuk menghafalkan dan menguasai pelajaran sebanyak mungkin guna menghadapi ujian atau test, di mana pada kesempatan tersebut anak didik harus mengeluarkan apa yang telah dihafalkan. Akibat dari praktek pendidikan semacam itu muncullah berbagai kesenjangan yang antara lain berupa-kesenjangan akademik, kesenjangan okupasional dan kesenjangan kultural. Kesenjangan akademik menunjukkan bahwa ilmu yang dipelajari di sekolah tidak ada kaitannya dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Hal ini disebabkan karena guru tidak menyadari bahwa kita dewasa ini berada pada masa transisi yang berlangsung dengan cepat, dan tetap memandang sekolah sebagai suatu insitusi yang berdiri sendiri yang bukan merupakan bagian dari masyarakatnya yang tengah berubah. Di samping itu, praktek pendidikan kita bersifat melioristik yang tercermin seringnya perubahan kurikulum secara erratic. Ditambah lagi, banyak guru yang tidak mampu mengaitkan mata pelajaran yang diajarkan dengan fenomena sosial yang dihadapi masyarakat. Akibatnya guru terus terpaku pada pemikiran yang sempit. Terbatasnya wawasan para guru dalam memahami fenomena-fenomena yang muncul di tengah-tengah masyarakat menyebabkan mereka kurang tepat dan kurang peka dalam mengantisipasi permasalahan yang dihadapi dunia pendidikan, akibatnya mereka kehilangan gambaran peta pendidikan & kemasyarakatan secara komprehensif. Kesenjangan okupasional, kesenjangan antara dunia pendidikan dan dunia kerja, memang bukanlah sernata-mata disebabkan oleh dunia pendidikan sendiri. Melainkan, juga ada faktor yang datang dari dunia kerja. Sedangkan, kesenjangan kultural ditunjukkan oleh ketidakmampuan peserta didik memahami persoalan-persoalan yang sedang dihadapi dan akan dihadapi bangsanya di masa depan. Kesenjangan kultural ini sebagai akibat sekolah-sekolah tidak mampu memberikan kesadaran kultural-historis kepada peserta didik. Peserta didik kita tidak memiliki historical-roots dan culturalroot dari berbagai persoalan yang dihadapi. John Simmon dalam bukunya Better Schools sudah memprediksi bahwa hasil pendidikan tradisional semacam itu hanya akan melahirkan lulusan yang hanya pantas jadi pengikut bukannya jadi pemimpin. Jenis kerja yang mereka pilih adalah kerja yang sifatnya rutin dan formal, bukannya kerja yang memerlukan inisiatif, kreatifitas dan entrepreneurship. Sudah barang tentu dengan kualitas dasar sumber daya manusia tersebut di atas, bangsa Indonesia sulit untuk dapat menghadapi tantangan-tantangan yang muncul sebagai akibat adanya kecenderungan global. C. Reformasi pendidikan suatu keharusan? Reformasi pendidikan ditujukan untuk meningkatkan komitmen dan kemampuan guru dan murid untuk mencapai prestasi pendidikan sebagaimana diharapkan. Dengan reformasi pendidikan dimaksudkan untuk mengembangkan struktur dan kondisi yang memungkinkan munculnya komitmen dan kemampuan tersebut di atas. Oleh karena itu, reformasi yang dilakukan harus mencakup tiga aspek dalam pendidikan: aspek organisasi dan kultur sekolah, aspek pekerjaan guru dan aspek interaksi sekolah dan masyarakat. Dominasi birokrasi dan kontrol politik yang berlebih-lebihan dari pusat atas sekolah dan proses belajar-mengajar melahirkan organisasi dan kultur sekolah yang tidak mendukung proses pendidikan yang mampu menghasilkan lulusan yang berkualitas. Organisasi sekolah yang bersifat birokratis sentralistis cenderung menimbulkan rigiditas dalam proses pendidikan, karena pendidikan diperlakukan secara klasikal dan mekanistis sebagai suatu industri yang bisa dilaksanakan dengan instruksi dari pusat. Birokrasi dan sentralisasi dalam pendidikan telah menimbulkan kultur birokratis di lingkungan sekolah. Kepala sekolah lebih setia berkorban bagi pejabat atasannya dari pada memperjuangkan nasib para guru. Demikian pula guru lebih patuh mengikuti pendapat kepala sekolah dari pada memperjuangkan nasib peserta didiknya. Organisasi sekolah yang bersifat birokratis sentralistis dan kultur sekolah otoriter birokratis telah gagal melaksanakan transmisi pengetahuan, sikap dan pola pikir peserta didik untuk mengantisipasi baik dalam dunia kerja maupun dalam dunia perguruan tinggi. Oleh karena itu, organisasi sekolah perlu direformasikan ke dalam organisasi sekolah yang mendasarkan school-based management atau site-specific solutions agar muncul berkembangnya budaya dialog profesional di lingkungan sekolah-sekolah. Organisasi sekolah yang berwajah lokal dalam kegiatannya senderung senantiasa mendasarkan pada consensus lewat dialog dan diskusi yang terbuka dan seimbang. Dalam kaitan ini, jabatan kepala sekolah yang selama ini ditunjukkan oleh pemerintah perlu diganti dengan kepala sekolah yang mungkinkan sekolah sebagai suatu lembaga yang relatif otonom dari kekuatan politik. Kerja kepala sekolah beserta staf administrasi merupakan tim yang demokratis jika orang tua murid dilibatkan dalam pelaksanaan pendidikan sebagai anggota bukan sebagai klien. Guru akan dapat mengajar dengan lebih baik dan peserta didik akan dapat belajar di sekolah lebih baik pula apabila kepala sekolah bertindak sebagai seorang pemimpin pendidik daripada sebagai manajer. Begitu pula proses belajar-mengajar akan lebih “bergairah dan hidup” apabila kultur sekolah demokratis dengan mengundang partisipasi dari segenap warga sekolah. Organisasi dan kultur sekolah sebagaimana dikemukakan di atas cenderung mengembangkan kerja guru tidak semata-mata sebagai kerja individu melainkan sebagai ‘kerja tim, yang memiliki berbagai tugas yang harus dikerjakan bersama. Banyak bukti menunjukkan bahwa sekolah-sekolah akan dapat berjalan dengan lebih baik apabila guru-guru diorganisir dalam suatu tim yang masing-masing anggota memiliki peran yang sederajat, otonom, saling menghormati, dan saling membantu, dari pada guru diorganisir berdasarkan pada otoritas yang bersifat hirarkhis. Bentuk kerja tim akan merupakan suatu keluarga yang satu sama lain memiliki hubungan yang akrab dan masing-masing saling membantu bekerjasama untuk mencapai keberhasilan bagi kesemuanya. Di antara anggota keluarga memiliki pemahaman yang mendalam satu sama lain, sehingga interaksi dan dialog menjadi bersifat alami. Diibaratkan keluarga yang demokratis, sebagai orang tua guru dilihat sebagai pemegang dan penjaga nilai-nilai yang diperlukan bagi kehidupan keluarga tersebut, lewat mata pelajaran yang disampaikan dan interaksi dialog. Interaksi sebagai seorang guru tetap dijaga dalam sekolah yang demokratis. Guru memiliki kebebasan akademik untuk mencari dan mengkaji pengetahuan yang akan disampaikan kepada peserta didik. Demikian pula, guru sebagai orang tua dalam keluarga memiliki wewenang untuk menganulir keputusan yang bertentangan dengan demokrasi. D. Pekerjaan dan kondisi guru Pekerjaan guru dilaksanakan di ruang kelas yang terisolir. Hal ini membawa konsekuensi meski guru menghadapi peserta didik, tetapi tidak memiliki kolega, dalam arti kolega yang bisa mengamati dan diajak dialog berkaitan dengan tugas-tugas pendidikan. Guru hampir menghabiskan seluruh waktunya dengan peserta didik di ruang-ruang kelas, sehingga interaksi antar guru sangat minimal dan terbatas. Kurang adanya dialog antar mereka menyebabkan guru merupakan individu yang harus senantiasa mengisi dan mengembangkan dirinya sendiri. Apabila antar guru sempat berdialog, mereka jarang membicarakan persoalan yang dihadapi berkaitan dengan tugas-tugas profesional mereka. Inilah yang membedakan profesi guru dan profesi yang lain. Kalau dokter ketemu dokter mereka berdialog tentang penyakit yang melanda suatu daerah atau temuan-temuan teknik pengobatan baru. Kalau arsitek ketemu arsitek mereka membicarakan bagaimana teknik bangunan yang mutakhir. Sebaliknya, kalau guru ketemu guru, mereka berdialog tentang kredit kendaraan mereka atau potangan gaji yang tidak pernah berhenti. Dengan demikian dapat dikatakan kultur kerja guru bersifat sangat individualistis dan non collaborative. Pekerjaan dan kondisi guru erat berkaitan dengan aspek organisasi dan kultur sekolah. Organisasi dan kultur sekolah memberikan kesempatan bagi guru untuk berperilaku berbeda dari apa yang sudah ditentukan. Kalau ada guru yang memiliki kemampuan untuk mengembangkan potensi peserta didik, akan dihambat oleh kondisi sekolah. Karena otonomi guru sangat terbatas, mengakibatkan proses belajar mengajar menjadi monoton, kaku dan membosankan. Dengan kata lain, organisasi dan kultur sekolah menimbulkan guru tidak sepenuhnya memiliki kekuasaan untuk mengelola proses belajar-mengajar. Ditambah lagi, gaji kecil dan status sosial di masyarakat rendah. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau pekerjaan guru tidak menarik bagi individu-individu yang berbakat dan memiliki otak cemerlang. Mereka, guru-guru muda yang semula memiliki semangat mengembangkan misi intelektual setelah beberapa tahun kehilangan semangat dan akhirnya menjadi guru tanpa inspirasi, berperilaku rutin dan penuh keputusan. Organisasi dan kultur sekolah cenderung mendorong ke proses pemfosilan intelektual dengan membunuh kreatifitas intelektual di kalangan guru. Keadaan sekolah menjadi bertambah buruk karena guru oleh birokrat kantoran dianggap hanya sebagai pelaksana kurikulum, penjaga peserta didik, tidak memiliki inspirasi dan kreatifitas dan kemandirian sebagai seorang individu. Para guru diperlakukan layaknya sebagai robot. Pekerjaan guru memerlukan kemampuan intelektual dan mempergunakan emosi. Jika emosi guru terkuras oleh hal-hal yang sesungguhnya bersifat non akademik, beban pekerjaan administrasi yang menumpuk, kekurangan waktu untuk mempersiapkan proses belajar mengajar dan ditambah lagi dukungan untuk memperkuat kemampuan intelektual mereka sangat lemah, maka kecil kemungkinan proses pendidikan akan menghasilkan lulusan yang berkualitas. Kondisi minimal yang diperlukan adalah guru harus memiliki waktu untuk merencanakan pengajaran, melaksanakan pengajaran, mengevaluasi apa yang telah dilaksanakan, memiliki kesempatan untuk mendapatkan kritik, komentar dan saran-saran baik dari kolega di sekolah atau di luar sekolah. Di samping itu, guru harus dipandang sebagai individu yang memiliki tanggung jawab penuh dalam proses belajar mengajar, sebagai individu yang mampu memikirkan dan melaksanakan apa yang seharusnya dilakukan untuk kebaikan peserta didik, sebagai individu yang mampu membuat sesuatu guna meningkatkan kualitas pendidikan. Apabila sekolah, kepala sekolah dan guru, diberi otonomi yang lebih besar dalam menjalankan proses pendidikan, mereka akan memiliki rasa tanggung jawab yang lebih besar. Mereka akan memiliki kebanggaan atas sukses dicapai dan sebaliknya mereka merasakan kepedihan yang mendalam akan kegagalan yang dialami peserta didiknya. Hal ini akan menimbulkan komitmen untuk bekerja memberikan yang terbaik. Meningkatnya otoritas yang dimiliki guru untuk mengendalikan proses pendidikan, memungkinkan mereka menggunakan seluruh kemampuan profesional dan pengalaman mereka dalam melaksanakan pekerjaan. Guru tidak harus bekerja dengan mendasarkan pada petunjuk teknis yang diberikan oleh aparat yang lebih tinggi yang dalam banyak hal bersifat teoritis, melainkan guru memilik kebebasan untuk melaksanakan tugas dengan cara yang mereka anggap paling tepat, paling efisien dan paling baik. Dengan memiliki kesempatan untuk menerapkan teknik-teknik yang mereka anggap baik akan dapat meningkatkan efisiensi kerja guru. Guru akan melaksanakan pengajaran yang menekankan pada pemahaman yang bermakna dan pembelajaran yang otentik (authentic learning) daripada pengajaran yang hanya mentransfer pengetahuan untuk dihafalkan. Demikian pula guru dapat diharapkan mengupayakan bahwa apa yang diajarkan dapat difahami oleh semua murid sehingga keberhasilan untuk semua murid tanpa memandang latar belakang mereka. Dengan demikian, pemberian otonomi pada sekolah akan dapat diharapkan meningkatkan kemampuan tehnis guru. E. Keterkaitan sekolah dan masyarakat Sekolah harus selalu mengembangkan kultur yang dapat mendukung proses belajar mengajar lebih baik. Sayangnya pembaharuan pendidikan yang telah dilaksanakan selama ini terlalu menekankan pada aspek teknis, fungsional dan individualistik tanpa menyentuh sedikitpun aspek kultur sekolah ini. Model ini dipengaruhi oleh ide bahwa sekolah sebagai suatu perusahaan atau industri yang melayani kebutuhan individu. Oleh karena itu pendidikan semacam itu akan bersifat fragmented yang satu dengan yang lain terpisah tidak ada kesatuan, dan melihat sekolah sebagai sesuatu yang berdiri sendiri bukan merupakan bagian dari masyarakat sekitar. Akibatnya, hubungan dan interaksi antara sekolah dan masyarakat sekitar tidak pernah terjadi. Hal ini berarti sekolah telah menelantarkan sumber belajar yang sangat bermanfaat dan bermakna bagi proses belajar mengajar. Oleh karena itu, salah satu aspek dalam sekolah yang perlu direformasi adalah hubungan sosial di antara warga sekolah termasuk orangtua murid dan masyarakat sekitar. Partisipasi orangtua dan masyarakat dalam kehidupan sekolah akan merupakan modal pokok dalam proses pendidikan. Sekolah harus menjadikan dirinya bagian dari kemasyarakatan. Setiap kegiatan sekolah adalah merupakan kegiatan masyarakat sekitar, sebaliknya setiap kegiatan masyarakat merupakan kegiatan sekolah. Hubungan antara sekolah dan masyarakat sekitar ini ditujukan untuk mencapai dua hal: Pertama, sekolah memiliki komunitas peserta didik yang berdomisili tidak terlalu jauh dari sekolah. Dengan demikian, akan terjadi proses rayonisasi berdasarkan domilisi. Dengan adanya rayonisasi fungsional ini akan menimbulkan sinkronisasi antara kegiatan sekolah dengan kegiatan kemasyarakatan, sehingga peserta didik bisa belajar dan menyerap kehidupan dari masyarakatnya. Kedua, dengan adanya rayonisasi fungsional tersebut akan muncul kaitan emosional antara masyarakat dengan sekolah. Ketiga, adanya kaitan emosional ini akan mengundang partisipasi masyarakat dalam meningkatkan kualitas pendidikan pada urmumnya dan dalam pemberdayaan pendidikan pada khususnya. F. Strategi reformasi Sebagaimana telah dikemukakan di atas, reformasi pendidikan yang dilakukan diarahkan untuk merubah organisasi dan kultur sekolah, pekerjaan guru dan keterkaitan sekolah dan masyarakat, dengan tujuan untuk mengembangkan komitmen dan kemampuan guru dan siswa guna mencapai prestasi setinggi mungkin untuk semua peserta didik, tanpa memandang latar belakang mereka. Strategi yang perlu dikembangkan dalam proses reformasi adalah: Pertama, karena luasnya cakupan pendidikan maka reformasi ditekankan pada: a) masing-masing sekolah memiliki otonomi merencanakan dan melaksanakan proses pendidikan; b) orangtua dan masyarakat bekerjasama dengan guru untuk kemajuan peserta didik; c) sekolah harus mengembangkan suatu sistem pelaporan tentang kemajuan pendidikan yang dengan cepat dan secara periodik dapat dikaji orangtua dan masyarakat; d) guru harus memiliki kesempatan yang luas untuk merancang kegiatan dan mengembangkan kerjasama antar kolega guru ataupun dengan orangtua dan masyarakat sekitar; e) peserta didik harus diberi kesempatan untuk mengembangkan kerja kelompok atau kerja individual dan sebaliknya kerja kelompok kelas dikurangi. Kedua, reformasi pendidikan memerlukan kesadaran akan berbagai kemungkinan yang timbul dari kebijakan reformasi tersebut, oleh karena itu, perlu disediakan “room for manoeuvre” bagi sekolah atau guru. Hal ini perlu agar kebijakan yang baru tidak terjebak oleh aturan dan prosedur yang bersifat birokratis. Di samping itu, “room for manoeuvre” ini diperlukan untuk antisipasi adanya kemungkinan-kemungkinan, seperti: kurang adanya guru yang berkuatitas, kualitas guru rendah, fasilitas yang tidak memadai, dan sebagainya. Ketiga, pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan produk bukan pendekatan proses. Oleh karena itu, yang lebih penting adalah bagaimana masing-masing sekolah bisa meningkatkan dan mencapai sepenuhnya tergantung kebijakan masing-masing sekolah. Untuk itu, pemerintah perlu mengembangkan dan menentukan: a) standar pendidikan yang harus dicapai, b) insentif terutama tidak jujur dalam masalah akademik dan, c) melibatkan aparat birokrasi propinsi, kabupaten/kotamadya dan kecamatan untuk mendukung keberhasilan pencapaian target dari sekolah yang ada di wilayahnya masing-masing. Keempat, di masing-masing sekolah diminta untuk mengembangkan gugus kendali mutu yang secara terus menerus mencari mode-model dan teknik-teknik yang paling efisien dan produktif dalam kegiatan proses belajar mengajar. G. Meningkatkan peran masyarakat Rendahnya mutu lulusan ini dikaitkan dengan rendahnya kualitas IKIP Pengkaitan rendahnya lulusan SMU dengan rendahnya kualitas IKIP tidaklah salah. Namun, perlulah difahami bahwa kualitas lulusan SMU tidak lepas dari kualitas lulusan tingkat pendidikan yang lebih rendah. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan bahkan pula kualitas lulusan sekolah dasar. Usaha meningkatkan kualitas pendidikan di tingkat manapun juga akan sulit terlaksana, apabila kualitas pendidikan yang lebih rendah tidak ditingkatkan mutunya. Oleh karenanya, peningkatan kualitas pendidikan di tingkat dasar merupakan kondisi mutlak yang diperlukan untuk meningkatkan mutu lulusan SMU. Dalam mengembangkan pendidikan tingkat dasar, terdapat beberapa problem yang perlu untuk segera mendapatkan perhatian. Problem yang dimaksud antara lain yang menyangkut infernal inefficiency, yang dapat diamati dalam ujud konkret berupa besarnya angka drop-out dan mengulang kelas. a) Wajib belajar Drop-out dan ulang kelas pada kelas yang sama dikategorikan sebagai tanda-tanda penyelenggaraan pendidikan tidak efisien. Sebab dengan drop-out berarti tujuan pendidikan tidak tercapai, sedangkan biaya pendidikan terlanjur sudah dikeluarkan. Sedang ulang kelas berarti perlu ada biaya lipat untuk murid yang sama. Seandainya tidak ada murid yang mengulang kelas, maka biaya tersebut bisa digunakan untuk murid yang lain. Mengapa sampai ada drop-out dan ulang kelas. Kebijaksanaan apa yang diperlukan untuk menghilangkan drop-out dan ulang kelas tersebut. Banyak faktor yang menyebabkan anak mengalami putus sekolah (drop-out) pada tingkat sekolah dasar. Antara lain, erat hubungannya dengan keadaan ekonomi keluarga, yakni anak diperlukan untuk membantu kerja orang tua mencari nafkah. Alasan ini banyak ditemui di daerah pedesaan. Hal ini erat sekali kaitannya dengan kehidupan di pedesaan di mana anak sejak dini sudah dilibatkan dalam pekerjaan yang secara tidak langsung maupun langsung mempengaruhi pendapatan keluarga. Pemerintah dan juga masyarakat sudah berusaha memecahkan masalah drop-out ini dengan berbagai kebijaksanaan dan tindakan yang tepat. Bisa disebutkan antara lain, sistem wajib belajar untuk anak umur sekolah dasar, dan sistem orang tua asuh. Hasilnya sudah bisa dilihat. Tahun demi tahun persentase drop-out menurun. b) Sebab-sebab ulang kelas Berbeda dengan masalah putus sekolah, masalah ulang kelas masih belum dapat dipecahkan. Hal ini nampak angka ulang kelas untuk tingkat Sekolah Dasar masih tinggi. Dari tahun ke tahun persentase angka ulang kelas tidak banyak mengalami perubahan. Masalah ulang kelas merupakan masalah yang sangat kompleks. Berbagai faktor terlibat dalam masalah ini. Antara lain, faktor kemampuan murid, faktor kemampuan guru dan sistem penilaian dan eveluasi yang digunakan guru, dan faktor sistem pendidikan sendiri. Faktor kemampuan murid sebenarnya erat kaitannya dengan faktor motivasi murid yang relatif rendah untuk belajar lebih keras. Hal ini kaitannya dengan kemampuan guru dalam memberikan motivasi kepada anak didik untuk belajar lebih rajin. Banyak keluhan yang keluar dari kalangan guru tentang masalah memberi motivasi ini. Guru tidak saja bertugas memberikan pelajaran, tetapi juga memberikan motivasi merupakan rangkaian dalam memberikan pelajaran tersebut. Kemampuan mengajar tanpa diimbangi kemampuan memberi motivasi kepada anak didik, akan cencerung menjadikan pelajaran dirasakan membosankan bagi para siswa. c) Usaha mengatasi ulang kelas Cara yang paling efektif untuk mengatasi ulang kelas adalah dengan menghilangkan sistem kenaikan kelas itu sendiri. Anak didik akan otomatis naik ke kelas di atasnya. Namun sistem ini memerlukan perlakuan khusus bagi anak yang tertinggal pelajaran. Di samping itu, melaksanakan sistem ini salah-salah bisa menurunkan kualitas pendidikan. Cara yang lain adalah dengan melibatkan orang tua dalam proses pendidikan dan mengembangkan kelompok belajar di masyarakat. Faktor orang tua dalam keberhasilan belajar anak sangat dominan. Banyak penelitian baik di dalam maupun di luar negeri menemukan kesimpulan tersebut. Faktor orang tua bisa dikategorikan ke dalam dua variabel: variabel structural dan variabel proses. Yang dapat dikategorikan variabel struktural antara lain latar belakang status sosial ekonomi, pendidikan, pekerjaan dan penghasilan orang tua. Sedangkan variabel proses adalah berupa perilaku orang tua dalam memberikan perhatian dan bantuan kepada anaknya dalam belajar. Untuk bisa mewujudkan variabel kedua tersebut tidak harus tergantung pada variabel pertama. Artinya, tidak hanya keluarga “kaya” atau berpendidikan tinggi bisa menciptakan variabel proses. Contoh variabel proses antara lain: orang tua menyediakan tempat belajar untuk anaknya; orang tua mengetahui kemampuan anaknya di mana anak mempunyai nilai paling bagus; pelajaran apa anak paling tidak bisa; apa kegiatan anak yang paling banyak dilakukan di sekolah maupun di luar sekolah; orang tua sering menanyakan tentang apa yang dipelajari anaknya; orang tua membantu anaknya dalam belajar. Seringkali orang beranggapan bahwa hanya “keluarga yang mampu” bisa memberikan fasilitas anak untuk belajar dengan “baik”. Sesungguhnya pendapat ini tidaklah benar sepenuhnya. Tempat belajar tidak bisa hanya diartikan semata-mata dalam ujud fisik. Melainkan, tempat belajar lebih menitik-beratkan pada suasana yang bisa mendukung anak belajar dengan baik. Misalnya pada jam-jam belajar yang telah ditentukan, tidak boleh ada Radio atau TV dihidupkan, tidak diperbolehkan siapapun ngobrol. Bantuan orang tua sangat diperlukan oleh anak, manakala anak menghadapi kesulitan dalam belajar. Sekolah perlu memberikan informasi kepada orang tua apa yang perlu dilakukan oleh orang tua dalam membantu mensukseskan pendidikan putera-puteranya. Sebaliknya, orang tua harus selalu mendatangi undangan pertemuan wali murid misalnya. Ataupun, orang tua jangan segan-segan menemui guru untuk membicarakan hal ihwal anaknya. Alangkah indahnya, khususnya di daerah pedesaan, kalau sekolah bisa memberikan pedoman tertulis tentang apa yang harus dilakukan oleh orang tua untuk membantu sekolah anak-anaknya. Dalam kaitan ini perlu ditingkatkan peran BP3, tidak hanya menangani masalah yang berkaitan dengan SPP, tetapi juga mempunyai tugas untuk mengembangkan kerjasama antara sekolah dan orang tua. Namun, masalahnya tidak semua orang tua bisa membantu anak dalam belajar. Apalagi kalau anak sudah duduk di kelas 5 atau 6. Dalam kaitan ini, lembaga pendidikan perlu bekerjasama dengan kelompok-kelompok yang ada di masyarakat, misalnya PKK. Kelompok PKK di kampung atau di desa-desa bisa banyak berperan dalam memberikan pedoman bagaimana yang seharusnya dilakukan, terutama oleh lbu-ibu dalam membantu belajar anak-anaknya. Kelompok PKK bisa menyelenggarakan kursus matematika bagi ibu-ibu, misalnya. Ataupun kursus-kursus yang lain yang bisa digunakan untuk membantu belajar anaknya. Cara yang kedua untuk mengurangi angka ulang kelas adalah dengan menyelenggarakan kursus atau pelajaran tambahan. Prestasi anak didik erat kaitannya dengan kegiatan kursus-kursus atau pelajaran tambahan. Tetapi, peserta kursus pada umumnya harus membayar, maka hanya murid-murid dari kalangan keluarga yang kurang mampu tidak bisa membayar biaya kursus untuk anaknya. Hal ini akan berakibat prestasi anak dari keluarga yang miskin akan semakin jauh tertinggal dari anak yang “mampu”. Demikian pula, karena kursus-kursus banyak diselenggarakan di kota-kota, maka prestasi anak di kota akan jauh lebih tinggi dari pada anak-anak di desa. Dalam kaitan ini perlulah masyarakat menyelenggarakan kursus-kursus atau pelajaran tambahan untuk beberapa mata pelajaran yang dirasa sulit. Kembali, kelompok-kelompok kegiatan yang ada di masyarakat bisa menangani. Misalnya kelompok PKK atau kelompok Pemuda. Peningkatan kualitas SD dan SLTP (pendidikan dasar) merupakan kondisi mutlak yang harus diujudkan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan secara keseluruhan. Tanggung jawab untuk meningkatkan mutu tersebut tidak hanya ada pada guru atau sekolah, tetapi juga ada pada pundak orang tua dan masyarakat. Kerjasama antara guru, orang tua dan masyarakat akan menentukan keberhasilan peningkatan kualitas pendidikan dasar. (bersambung)

Ditulis dalam Pend. di negara lain

Tuesday, October 26, 2010

UMUR ALAM SEMESTA

UMUR ALAM SEMESTA

Berapakah umur alam semesta? Berbagai disiplin ilmu pengetahuan seperti astronomi, biologi, geofisika, geologi, paleontologi semua menunjukkan bahwa umur alam semesta sudah milyaran tahun. Hal ini sudah diterima secara umum dan tidak diperdebatkan lagi. Berikut ini beberapa bukti astronomis tentang umur alam semesta.

1.Teori yang bisa menjelaskan pemancaran energi oleh matahari (dan bintang lainnya) adalah rangkaian reaksi nuklir yang menyatukan empat inti hidrogen menjadi satu inti helium. Reaksi ini membebaskan energi yang besar. Reaksi proton-proton yang mengawali rangkaian ini mempunyai cross section (laju reaksi) yang sangat kecil. Beruntunglah kita karena reaksi ini sangat lambat. Kalau tidak, semua bintang akan segera meledak begitu reaksi itu terjadi, dan kita tidak pernah ada!

Reaksi ini bisa berlangsung stabil selama milyaran tahun (untuk matahari sekitar 10 milyar tahun). Kita tahu massa matahari (dari gerak orbit planet). Kita juga tahu komposisi kimia matahari (secara spektroskopi). Maka kita dapat membuat simulasi dengan komputer bagaimana matahari berkembang (ber-evolusi). Untuk mencapai tahap keadaan matahari sekarang diperlukan waktu lima milyar tahun. Jadi umur matahari sekarang sekitar 5 milyar tahun. Umur matahari akan mencapai 10 milyar tahun. Nantinya matahari akan menjadi bintang raksasa merah (seperti bintang Antares di rasi Scorpio) dan akhirnya menjadi bintang katai putih.

Apakah ada bukti yang mendukungnya? Ya, ada! Para ahli geologi dan paleontologi menemukan umur geologis yang juga berorde milyaran tahun. Adanya fosil-fosil yang berumur milyaran tahun juga menunjukkan bahwa di bumi milyaran tahun yang lalu sudah ada kehidupan. Berarti milyaran tahun yang lalu matahari sudah ada dan keadaannya tak jauh berbeda dari sekarang (kehidupan, bagaimana pun sederhananya memerlukan matahari yang keadaannya tidak berbeda dengan matahari sekarang).

2. Ditemukannya galaksi-galaksi pada jarak milyaran tahun cahaya menunjukkan bahwa umur alam semesta ini sudah milyaran tahun (cahaya dari galaksi-galaksi itu memerlukan waktu milyaran tahun untuk mencapai bumi).

Sebuah galaksi yang berjarak 60 juta tahun cahaya (Foto: Hubble Space Telescope)

3. Hubble menunjukkan bahwa galaksi-galaksi saling menjauhi (lihat bawah). Dengan menelusur balik dari kecepatan menjauh ini dapat ditentukan umur alam semesta sekitar 15 milyar tahun.

Alam semesta bermula dengan suatu ledakan besar (big bang). Bukti terjadinya big bang ini ditemukan pada tahun 1965 oleh Penzias dan Wilson yang menemukan radiasi latar belakang gelombang mikro yang bertemperatur 3 derajat Kelvin (minus 270 derajat Celcius). Radiasi latar belakang ini merupakan sisa radiasi yang berasal dari big bang. Penzias dan Wilson memperoleh hadiah Nobel Fisika tahun 1978 untuk penemuannya ini. Penemuan ini dikokohkan oleh pengamatan oleh satelit COBE milik NASA pada tahun 1992.

Setelah terjadinya big bang alam semesta mengembang. Pengembangan alam semesta ini pertama kali diperlihatkan oleh Edwin Hubble pada tahun 1929 dengan mengamati pergeseran garis-garis spektrum pada galaksi-galaksi yang jauh. Hubble mendapatkan bahwa galaksi-galaksi bergerak saling menjauhi, makin jauh jaraknya, makin besar kecepatannya.

Teori big bang menyatakan bahwa pada saat terbentuknya, alam semesta didominasi oleh radiasi atau energi. Pada fase pengembangan berikutnya terbentuklah mula-mula quark, kemudian proton dan neutron, lalu helium dan deuterium, atom, dan selanjutnya: materi antar bintang, bintang, galaksi dan seterusnya. Unsur berat dibentuk di pusat bintang, dan oleh ledakan supernova di cerai beraikan dalam alam semesta. Dari big bang hingga proses terbentuknya bintang-bintang dan galaksi terentang waktu ratusan ribu sampai milyaran tahun.

MENGIDENTIFIKASI JENIS SAMPAH DI HALAMAN SEKOLAH

MENGIDENTIFIKASI JENIS SAMPAH DI HALAMAN SEKOLAH

A. Tujuan :

Mengidentifikasi jenis sampah organik dan anorganik di halaman sekolah.

B. Kompetensi Eksperimen

1. Menentukan sampah organik dan sampah anorganik.
2. Memahami pengertian limbah atau sampah.
3. Mengamati limbah atau sampah.
4. Membuat hasil laporan.

C. Alat dan Bahan :

1. Alat tulis menulis
2. Sapu lidi
3. Plastik kecil dan plastik tempat sampah

D. Prosedur Kerja :

1. Ambil peralatan tulis menulis Anda.
2. Carilah suatu tempat di halaman sekolah yang terdapat sampahnya.
3. Bersihkan sampah di halaman sekolah dan masukkan ke dalam plastik sampah.
4. Identifikasi sampah yang sudah Anda kumpulkan, Pilihlah sampah yang organik dan sampah yang anorganik.
5. Hitunglah jumlah sampah yang sudah diidentifikasi.
6. Buatlah hasil laporannya.

E. Data Pengamatan :

Tabel data sampling limbah atau sampah di sekitar halaman sekolah.

No.


Nama Sampah

Organik


Jml


Ket.


Nama Sampah

Anorganik


Jml


Ket.

1.












2.












3.












4.












5.












6.












7.












8.












9.












10.

Kompos dari Biopori

Kompos dari Biopori
Praktek Membuat Kompos dari Lubang Resapan Biopori


Apa itu Kompos ?
Kompos adalah hasil penguraian parsial/tidak lengkap dari campuran bahan-bahan organik yang dapat dipercepat secara artifisial oleh populasi berbagai macam mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembab, dan aerobik atau anaerobik (Modifikasi dari J.H. Crawford, 2003).

Apa saja Manfaat dari Kompos ?
Kompos memiliki banyak manfaat yang ditinjau dari beberapa aspek:
Aspek ekonomi:
1. Menghemat biaya untuk transportasi dan penimbunan limbah
2. Mengurangi volume/ukuran limbah
3. Memiliki nilai jual yang lebih tinggi dari pada bahan asalnya

Aspek Lingkungan :
1. Mengurangi polusi udara karena pembakaran limbah
2. Mengurangi kebutuhan lahan untuk penimbunan
Aspek bagi tanah/tanaman:
1. Meningkatkan kesuburan tanah
2. Memperbaiki struktur dan karakteristik tanah
3. Meningkatkan kapasitas jerap air tanah
4. Meningkatkan aktivitas mikroba tanah
5. Meningkatkan kualitas hasil panen (rasa, nilai gizi, dan jumlah panen)
6. Menyediakan hormon dan vitamin bagi tanaman
7. Menekan pertumbuhan/serangan penyakit tanaman
8. Meningkatkan retensi/ketersediaan hara di dalam tanah

Apa ciri-ciri Kompos yang Baik ?
Kompos yang baik memiliki beberapa ciri sebagai berikut:
1. Berwarna coklat tua hingga hitam mirip dengan warna tanah,
2. Tidak larut dalam air, meski sebagian kompos dapat membentuk suspensi,
3. Nisbah C/N sebesar 10 – 20, tergantung dari bahan baku dan derajat humifikasinya,
4. Berefek baik jika diaplikasikan pada tanah,
5. Suhunya kurang lebih sama dengan suhu lingkungan, dan
6. Tidak berbau.


Apa itu Biopori ?
Biopori adalah lubang-lubang di dalam tanah yang terbentuk akibat berbagai aktifitas organisme di dalamnya, seperti cacing, perakaran tanaman, rayap, dan fauna tanah lainnya. Lubang-lubang yang terbentuk akan terisi udara, dan akan menjadi tempat berlalunya air di dalam tanah.


Apa itu Lubang Resapan Biopori (LRB) ?
Lubang Resapan Biopori adalah lubang silindris yang dibuat secara vertical ke dalam tanah dengan diameter 10-30 cm dan kedalaman sekitar 100 cm, atau dalam kasus tanah dengan permukaan air tanah dangkal, tidak sampai melebihi kedalaman muka air tanah.


Apa saja Manfaat dari LRB ?
Manfaat LRB antara lain:
1. Meningkatkan daya resapan air
2. Mengubah sampah organic menjadi kompos
3. Memanfaatkan fauna tanah dan atau akar tanaman

Bagaimana Cara Membuat LRB ?
Langkah-langkah dalam membuat LRB antara lain:
1. Buat lubang silindris secara vertical ke dalam tanah dengan diameter 10-30 cm. Kedalaman kurang lebih 100 cm atau tidak sampai melampaui muka air tanah bila air tanahnya dangkal. Jarak antar lubang 50 – 100 cm.
2. Mulut lubang dapatdiperkuat dengan semen selebar 2 – 3 cm dengan tebal 2 cm di sekeliling mulut lubang.
3. Isi lubang dengan sampah organic yang berasal dari dapur sisa tanaman, dedaunan, atau pangkasan rumput.
4. Sampah organic perlu selalu ditambahkan ke dalam lubang yang isinya sudah berkurang dan menyusut akibat proses pelapukan.
5. Kompos yang terbentuk dalam lubang dapat diambil pada setiap akhir musim kemarau bersamaan dengan pemeliharaan lubang resapan.

Kertas Daur Ulang

Kertas Daur Ulang


Membuat Kertas Daur Ulang

Sampah kertas atau sampah yang berasal dari kertas merupakan jenis sampah anorganik, yaitu sampah yang tidak dapat atau sukar diuraikan oleh mikroorganisme. Sampah anorganik memerlukan penanganan yang tepat guna mengurangi polusi yang merugikan bagi mahluk hidup yang ada di sekitarnya. Dengan cara mendaur ulang sampah kertas menjadi kertas daur ulang adalah salah satu tindakan yang tepat. Selain dapat mengurangi polusi juga kertas daur ulang memiliki nilai ekonomis, apalagi jika kertas hasil daur ulang dibuat suatu bentuk kreatifitas yang mempunyai nilai ekonomis lebih tinggi seperti kartu ucapan ulang tahun, undangan, bungkus kado dan lain-lain.

Berikut adalah petunjuk bagaimana membuat kertas daur ulang:

Alat dan Bahan:

1. kertas bekas

2. kain katun

3. ember

4. baskom

5. air

6. blender

7. papan kayu

8. bingkai screen

Cara Membuat:

1. kertas dirobek menjadi ukuran kecil-kecil dan rendam dalam air selama satu hari.

2. blender kertas sampai menjadi bubur.

3. tuangkan ke dalam baskom yang berisi air kemudian diaduk-aduk.

4. letakkan papan kayu yang sudah dilapisi kain katun dengan posisi berdiri.

5. saring campuran kertas dan air dalam baskom dengan menggunakan bingkai screen.

6. letakkan bingkai screen yang sudah ada campuran kertas dan air di atas papan dengan posisi terbalik, kemudian gosok-gosoklah dengan satu arah.

7. angkat bingkai screen dengan hati-hati, kertas akan menempel pada papan.

8. jemur kertas yang menempel di papan selama 1 hari atau sampai kering.

9. ambil kertas hasil daur ulang pada papan.

PENCIPTAAN ALAM SEMESTA

PENCIPTAAN ALAM SEMESTA DARI KETIADAAN

Dalam bentuk standarnya, teori Dentuman Besar (Big Bang) mengasumsikan bahwa semua bagian jagat raya mulai mengembang secara serentak. Namun bagaimana semua bagian jagat raya yang berbeda bisa menyelaraskan awal pengembangan mereka? Siapa yang memberikan perintah?
(Andre Linde, Profesor Kosmologi.) 2

Seabad yang lalu, penciptaan alam semesta adalah sebuah konsep yang diabaikan para ahli astronomi. Alasannya adalah penerimaan umum atas gagasan bahwa alam semesta telah ada sejak waktu tak terbatas. Dalam mengkaji alam semesta, ilmuwan beranggapan bahwa jagat raya hanyalah akumulasi materi dan tidak mempunyai awal. Tidak ada momen "penciptaan", yakni momen ketika alam semesta dan segala isinya muncul.

Gagasan "keberadaan abadi" ini sesuai dengan pandangan orang Eropa yang berasal dari filsafat materialisme. Filsafat ini, yang awalnya dikembangkan di dunia Yunani kuno, menyatakan bahwa materi adalah satu-satunya yang ada di jagat raya dan jagat raya ada sejak waktu tak terbatas dan akan ada selamanya. Filsafat ini bertahan dalam bentuk-bentuk berbeda selama zaman Romawi, namun pada akhir kekaisaran Romawi dan Abad Pertengahan, materialisme mulai mengalami kemunduran karena pengaruh filsafat gereja Katolik dan Kristen. Setelah Renaisans, materialisme kembali mendapatkan penerimaan luas di antara pelajar dan ilmuwan Eropa, sebagian besar karena kesetiaan mereka terhadap filsafat Yunani kuno.

Filsuf Jerman, Immanuel Kant adalah orang pertama yang mengajukan pernyataan "alam semesta tanpa batas" pada Zaman Baru. Tetapi penemuan ilmiah menggugurkan pernyataan Kant.

Immanuel Kant-lah yang pada masa Pencerahan Eropa, menyatakan dan mendukung kembali materialisme. Kant menyatakan bahwa alam semesta ada selamanya dan bahwa setiap probabilitas, betapapun mustahil, harus dianggap mungkin. Pengikut Kant terus mempertahankan gagasannya tentang alam semesta tanpa batas beserta materialisme. Pada awal abad ke-19, gagasan bahwa alam semesta tidak mempunyai awal- bahwa tidak pernah ada momen ketika jagat raya diciptakan-secara luas diterima. Pandangan ini dibawa ke abad ke-20 melalui karya-karya materialis dialektik seperti Karl Marx dan Friedrich Engels.

Pandangan tentang alam semesta tanpa batas sangat sesuai dengan ateisme. Tidak sulit melihat alasannya. Untuk meyakini bahwa alam semesta mempunyai permulaan, bisa berarti bahwa ia diciptakan dan itu berarti, tentu saja, memerlukan pencipta, yaitu Tuhan. Jauh lebih mudah dan aman untuk menghindari isu ini dengan mengajukan gagasan bahwa "alam semesta ada selamanya", meskipun tidak ada dasar ilmiah sekecil apa pun untuk membuat klaim seperti itu. Georges Politzer, yang mendukung dan mempertahankan gagasan ini dalam buku-bukunya yang diterbitkan pada awal abad ke-20, adalah pendukung setia Marxisme dan Materialisme.

Dengan mempercayai kebenaran model "jagat raya tanpa batas", Politzer menolak gagasan penciptaan dalam bukunya Principes Fondamentaux de Philosophie ketika dia menulis:

Alam semesta bukanlah objek yang diciptakan, jika memang demikian, maka jagat raya harus diciptakan secara seketika oleh Tuhan dan muncul dari ketiadaan. Untuk mengakui penciptaan, orang harus mengakui, sejak awal, keberadaan momen ketika alam semesta tidak ada, dan bahwa sesuatu muncul dari ketiadaan. Ini pandangan yang tidak bisa diterima sains.3

Politzer menganggap sains berada di pihaknya dalam pembelaannya terhadap gagasan alam semesta tanpa batas. Kenyataannya, sains merupakan bukti bahwa jagat raya sungguh-sungguh mempunyai permulaan. Dan seperti yang dinyatakan Politzer sendiri, jika ada penciptaan maka harus ada penciptanya.

Pengembangan Alam Semesta dan Penemuan Dentuman Besar

Tahun 1920-an adalah tahun yang penting dalam perkembangan astronomi modern. Pada tahun 1922, ahli fisika Rusia, Alexandra Friedman, menghasilkan perhitungan yang menunjukkan bahwa struktur alam semesta tidaklah statis dan bahwa impuls kecil pun mungkin cukup untuk menyebabkan struktur keseluruhan mengembang atau mengerut menurut Teori Relativitas Einstein. George Lemaitre adalah orang pertama yang menyadari apa arti perhitungan Friedman. Berdasarkan perhitungan ini, astronomer Belgia, Lemaitre, menyatakan bahwa alam semesta mempunyai permulaan dan bahwa ia mengembang sebagai akibat dari sesuatu yang telah memicunya. Dia juga menyatakan bahwa tingkat radiasi (rate of radiation) dapat digunakan sebagai ukuran akibat (aftermath) dari "sesuatu" itu.

Edwin Hubble menemukan bahwa alam semesta mengembang. Pada akhirnya dia menemukan bukti "Ledakan Besar", peristiwa besar yang penemuannya memaksa ilmuwan meninggalkan anggapan alam semesta tanpa batas dan abadi.

Pemikiran teoretis kedua ilmuwan ini tidak menarik banyak perhatian dan barangkali akan terabaikan kalau saja tidak ditemukan bukti pengamatan baru yang mengguncangkan dunia ilmiah pada tahun 1929. Pada tahun itu, astronomer Amerika, Edwin Hubble, yang bekerja di Observatorium Mount Wilson California, membuat penemuan paling penting dalam sejarah astronomi. Ketika mengamati sejumlah bintang melalui teleskop raksasanya, dia menemukan bahwa cahaya bintang-bintang itu bergeser ke arah ujung merah spektrum, dan bahwa pergeseran itu berkaitan langsung dengan jarak bintang-bintang dari bumi. Penemuan ini mengguncangkan landasan model alam semesta yang dipercaya saat itu.

Menurut aturan fisika yang diketahui, spektrum berkas cahaya yang mendekati titik observasi cenderung ke arah ungu, sementara spektrum berkas cahaya yang menjauhi titik observasi cenderung ke arah merah. (Seperti suara peluit kereta yang semakin samar ketika kereta semakin jauh dari pengamat). Pengamatan Hubble menunjukkan bahwa menurut hukum ini, benda-benda luar angkasa menjauh dari kita. Tidak lama kemudian, Hubble membuat penemuan penting lagi; bintang-bintang tidak hanya menjauh dari bumi; mereka juga menjauhi satu sama lain. Satu-satunya kesimpulan yang bisa diturunkan dari alam semesta di mana segala sesuatunya saling menjauh adalah bahwa alam semesta dengan konstan "mengembang".

Hubble menemukan bukti pengamatan untuk sesuatu yang telah "diramalkan" George Lamaitre sebelumnya, dan salah satu pemikir terbesar zaman kita telah menyadari ini hampir lima belas tahun lebih awal. Pada tahun 1915, Albert Einstein telah menyimpulkan bahwa alam semesta tidak mungkin statis dengan perhitungan-perhitungan berdasarkan teori relativitas yang baru ditemukannya (yang mengantisipasi kesimpulan Friedman dan Lemaitre). Terkejut oleh temuannya, Einstein menambahkan "konstanta kosmologis" pada persamaannya agar muncul "jawaban yang benar", karena para ahli astronomi meyakinkan dia bahwa alam semesta itu statis dan tidak ada cara lain untuk membuat persamaannya sesuai dengan model seperti itu. Beberapa tahun kemudian, Einstein mengakui bahwa konstanta kosmologis ini adalah kesalahan terbesar dalam karirnya.

Penemuan Hubble bahwa alam semesta mengembang memunculkan model lain yang tidak membutuhkan tipuan untuk menghasilkan persamaan sesuai dengan keinginan. Jika alam semesta semakin besar sejalan dengan waktu, mundur ke masa lalu berarti alam semesta semakin kecil; dan jika seseorang bisa mundur cukup jauh, segala sesuatunya akan mengerut dan bertemu pada satu titik. Kesimpulan yang harus diturunkan dari model ini adalah bahwa pada suatu saat, semua materi di alam semesta ini terpadatkan dalam massa satu titik yang mempunyai "volume nol" karena gaya gravitasinya yang sangat besar. Alam semesta kita muncul dari hasil ledakan massa yang mempunyai volume nol ini. Ledakan ini mendapat sebutan "Dentuman Besar" dan keberadaannya telah berulang-ulang ditegaskan dengan bukti pengamatan.

Ada kebenaran lain yang ditunjukkan Dentuman Besar ini. Untuk mengatakan bahwa sesuatu mempunyai volume nol adalah sama saja dengan mengatakan sesuatu itu "tidak ada". Seluruh alam semesta diciptakan dari "ketidakadaan" ini. Dan lebih jauh, alam semesta mempunyai permulaan, berlawanan dengan pendapat materialisme, yang mengatakan bahwa "alam semesta sudah ada selamanya".

Hipotesis "Keadaan-Stabil"

Teori Dentuman Besar dengan cepat diterima luas oleh dunia ilmiah karena bukti-bukti yang jelas. Namun, para ahli astronomi yang memihak materialisme dan setia pada gagasan alam semesta tanpa batas yang dituntut paham ini menentang Dentuman Besar dalam usaha mereka mempertahankan doktrin fundamental ideologi mereka. Alasan mereka dijelaskan oleh ahli astronomi Inggris, Arthur Eddington, yang berkata, "Secara filosofis, pendapat tentang permulaan yang tiba-tiba dari keteraturan alam sekarang ini bertentangan denganku."4

Ahli astronomi lain yang menentang teori Dentuman Besar adalah Fred Hoyle. Sekitar pertengahan abad ke-20 dia mengemukakan sebuah model baru yang disebutnya "keadaan-stabil", yang tak lebih suatu perpanjangan gagasan abad ke-19 tentang alam semesta tanpa batas. Dengan menerima bukti-bukti yang tidak bisa disangkal bahwa jagat raya mengembang, dia berpendapat bahwa alam semesta tak terbatas, baik dalam dimensi maupun waktu. Menurut model ini, ketika jagat raya mengembang, materi baru terus-menerus muncul dengan sendirinya dalam jumlah yang tepat sehingga alam semesta tetap berada dalam "keadaan-stabil". Dengan satu tujuan jelas mendukung dogma "materi sudah ada sejak waktu tak terbatas", yang merupakan basis filsafat materialis, teori ini mutlak bertentangan dengan "teori Dentuman Besar", yang menyatakan bahwa alam semesta mempunyai permulaan. Pendukung teori keadaan-stabil Hoyle tetap berkeras menentang Dentuman Besar selama bertahun-tahun. Namun, sains menyangkal mereka.

Kemenangan Dentuman Besar

Pada tahun 1948, George Gamov mengembangkan perhitungan George Lemaitre lebih jauh dan menghasilkan gagasan baru mengenai Dentuman Besar. Jika alam semesta terbentuk dalam sebuah ledakan besar yang tiba-tiba, maka harus ada sejumlah tertentu radiasi yang ditinggalkan dari ledakan tersebut. Radiasi ini harus bisa dideteksi, dan lebih jauh, harus sama di seluruh alam semesta.

Pernyataan Sir Arthur Eddington bahwa "pendapat tentang permulaan yang tiba-tiba dari keteraturan alam sekarang ini bertentangan denganku," adalah pengakuan bahwa Ledakan Besar telah menimbulkan keresahan di kalangan materialis.

Dalam dua dekade, bukti pengamatan dugaan Gamov diperoleh. Pada tahun 1965, dua peneliti bernama Arno Penzias dan Robert Wilson menemukan sebentuk radiasi yang selama ini tidak teramati. Disebut "radiasi latar belakang kosmik", radiasi ini tidak seperti apa pun yang berasal dari seluruh alam semesta karena luar biasa seragam. Radiasi ini tidak dibatasi, juga tidak mempunyai sumber tertentu; alih-alih, radiasi ini tersebar merata di seluruh jagat raya. Segera disadari bahwa radiasi ini adalah gema Dentuman Besar, yang masih menggema balik sejak momen pertama ledakan besar tersebut. Gamov telah mengamati bahwa frekuensi radiasi hampir mempunyai nilai yang sama dengan yang telah diperkirakan oleh para ilmuwan sebelumnya. Penzias dan Wilson dianugerahi hadiah Nobel untuk penemuan mereka.

Pada tahun 1989, George Smoot dan tim NASA-nya meluncurkan sebuah satelit ke luar angkasa. Sebuah instrumen sensitif yang disebut "Cosmic Background Emission Explorer" (COBE) di dalam satelit itu hanya memerlukan delapan menit untuk mendeteksi dan menegaskan tingkat radiasi yang dilaporkan Penzias dan Wilson. Hasil ini secara pasti menunjukkan keberadaan bentuk rapat dan panas sisa dari ledakan yang menghasilkan alam semesta. Kebanyakan ilmuwan mengakui bahwa COBE telah berhasil menangkap sisa-sisa Dentuman Besar.

Radiasi Latar Belakang Kosmik yang ditemukan oleh Penzias dan Wilson dianggap sebagai bukti Ledakan Besar yang tak terbantahkan oleh dunia ilmiah.

Ada lagi bukti-bukti yang muncul untuk Dentuman Besar. Salah satunya berhubungan dengan jumlah relatif hidrogen dan helium di alam semesta. Pengamatan menunjukkan bahwa campuran kedua unsur ini di alam semesta sesuai dengan perhitungan teoretis dari apa yang seharusnya tersisa setelah Dentuman Besar. Bukti itu memberikan tusukan lagi ke jantung teori keadaan-stabil karena jika jagat raya sudah ada selamanya dan tidak mempunyai permulaan, semua hidrogennya telah terbakar menjadi helium.

Dihadapkan pada bukti seperti itu, Dentuman Besar memperoleh persetujuan dunia ilmiah nyaris sepenuhnya. Dalam sebuah artikel edisi Oktober 1994, Scientific American menyatakan bahwa model Dentuman Besar adalah satu-satunya yang dapat menjelaskan pengembangan terus menerus alam semesta dan hasil-hasil pengamatan lainnya.

Setelah mempertahankan teori Keadaan-Stabil bersama Fred Hoyle, Dennis Sciama menggambarkan dilema mereka di hadapan bukti Dentuman Besar. Dia berkata bahwa semula dia mendukung Hoyle, namun setelah bukti mulai menumpuk, dia harus mengakui bahwa pertempuran telah usai dan bahwa teori keadaan-stabil harus ditinggalkan.5

Siapa yang Menciptakan Alam Semesta dari Ketiadaan?

Dengan kemenangan Dentuman Besar, tesis "alam semesta tanpa batas", yang membentuk basis bagi dogma materialis, dibuang ke tumpukan sampah sejarah. Namun bagi materialis, muncul pula dua pertanyaan yang tidak mengenakkan: Apa yang sudah ada sebelum Dentuman Besar? Dan kekuatan apa yang telah menyebabkan Dentuman Besar sehingga memunculkan alam semesta yang tidak ada sebelumnya?

Materialis seperti Arthur Eddington menyadari bahwa jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan ini dapat mengarah pada keberadaan pencipta agung dan itu tidak mereka sukai. Filsuf ateis, Anthony Flew, mengomentari masalah ini:

Jelas sekali, pengakuan itu baik bagi jiwa. Oleh karena itu, saya akan mulai dengan mengakui bahwa penganut ateis Stratonis harus merasa malu dengan konsensus kosmologis dewasa ini. Karena tampaknya para ahli kosmologi menyediakan bukti ilmiah untuk apa yang dianggap St. Thomas tidak terbukti secara filosofis; yaitu, bahwa alam semesta mempunyai permulaan. Selama alam semesta dapat dengan mudah dianggap tidak hanya tanpa akhir, namun juga tanpa permulaan, akan tetap mudah untuk mendesak bahwa keberadaannya yang tiba-tiba, dan apa pun yang ditemukan menjadi ciri-cirinya yang paling mendasar, harus diterima sebagai penjelasan akhir. Meskipun saya mempercayai bahwa teori itu (alam semesta tanpa batas) masih benar, tentu saja tidak mudah atau nyaman untuk mempertahankan posisi ini di hadapan kisah Dentuman Besar.6

Banyak ilmuwan yang tidak mau memaksakan diri menjadi ateis menerima dan mendukung keberadaan pencipta yang mempunyai kekuatan tak terbatas. Misalnya, ahli astrofisika Amerika, Hugh Ross, menyatakan Pencipta jagat raya, yang berada di atas segala dimensi fisik, sebagai:

Secara definisi, waktu adalah dimensi di mana fenomena sebab-dan-akibat terjadi. Tidak ada waktu, tidak ada sebab dan akibat. Jika permulaan waktu sama dengan permulaan alam semesta, seperti yang dikatakan teorema ruang-waktu, maka sebab alam semesta haruslah entitas yang bekerja dalam dimensi waktu yang sepenuhnya mandiri dan hadir lebih dulu daripada dimensi waktu kosmos... ini berarti bahwa Pencipta itu transenden, bekerja di luar batasan-batasan dimensi alam semesta. Ini berarti bahwa Tuhan bukan alam semesta itu sendiri, dan Tuhan juga tidak berada di dalam alam semesta.7

Penolakan terhadap Penciptaan dan Mengapa Teori-Teori Itu Bercacat

Sangat jelas bahwa Dentuman Besar berarti penciptaan alam semesta dari ketiadaan dan ini pasti bukti keberadaan pencipta yang berkehendak. Mengenai fakta ini, beberapa ahli astronomi dan fisika materialis telah mencoba mengemukakan penjelasan alternatif untuk membantah kenyataan ini. Rujukan sudah dibuat dari teori keadaan-stabil dan ditunjukkan ke mana kaitannya, oleh mereka yang tidak merasa nyaman dengan pendapat "penciptaan dari ketiadaan" meskipun bukti berbicara lain, sebagai usaha mempertahankan filsafat mereka.

Ada pula sejumlah model yang telah dikemukakan oleh materialis yang menerima teori Dentuman Besar namun mencoba melepaskannya dari gagasan penciptaan. Salah satunya adalah model alam semesta "berosilasi"; dan yang lainnya adalah "model alam semesta kuantum". Mari kita kaji teori-teori ini dan melihat mengapa keduanya tidak berdasar.

Model alam semesta berosilasi dikemukakan oleh para ahli astronomi yang tidak menyukai gagasan bahwa Dentuman Besar adalah permulaan alam semesta. Dalam model ini, dinyatakan bahwa pengembangan alam semesta sekarang ini pada akhirnya akan membalik pada suatu waktu dan mulai mengerut. Pengerutan ini akan menyebabkan segala sesuatu runtuh ke dalam satu titik tunggal yang kemudian akan meledak lagi, memulai pengembangan babak baru. Proses ini, kata mereka, berulang dalam waktu tak terbatas. Model ini juga menyatakan bahwa alam semesta sudah mengalami transformasi ini tak terhingga kali dan akan terus demikian selamanya. Dengan kata lain, alam semesta ada selamanya namun mengembang dan runtuh pada interval berbeda dengan ledakan besar menandai setiap siklusnya. Alam semesta tempat kita tinggal merupakan salah satu alam semesta tanpa batas itu yang sedang melalui siklus yang sama.

Ini tak lebih dari usaha lemah untuk menyelaraskan fakta Dentuman Besar terhadap pandangan tentang alam semesta tanpa batas. Skenario tersebut tidak didukung oleh hasil-hasil riset ilmiah selama 15-20 tahun terakhir, yang menunjukkan bahwa alam semesta yang berosilasi seperti itu tidak mungkin terjadi. Lebih jauh, hukum-hukum fisika tidak bisa menerangkan mengapa alam semesta yang mengerut harus meledak lagi setelah runtuh ke dalam satu titik tunggal: ia harus tetap seperti apa adanya. Hukum-hukum fisika juga tidak bisa menerangkan mengapa alam semesta yang mengembang harus mulai mengerut lagi.8

Bahkan kalaupun kita menerima bahwa mekanisme yang membuat siklus mengerut-meledak-mengembang ini benar-benar ada, satu hal penting adalah bahwa siklus ini tidak bisa berlanjut selamanya, seperti anggapan mereka. Perhitungan untuk model ini menunjukkan bahwa setiap alam semesta akan mentransfer sejumlah entropi kepada alam semesta berikutnya. Dengan kata lain, jumlah energi berguna yang tersedia menjadi berkurang setiap kali, dan setiap alam semesta akan terbuka lebih lambat dan mempunyai diameter lebih besar. Ini akan menyebabkan alam semesta yang terbentuk pada babak berikutnya menjadi lebih kecil dan begitulah seterusnya, sampai pada akhirnya menghilang menjadi ketiadaan. Bahkan jika alam semesta "buka dan tutup" ini dapat terjadi, mereka tidak bertahan selamanya. Pada satu titik, akan diperlukan "sesuatu" untuk diciptakan dari "ketiadaan".9

Singkatnya, model alam semesta "berosilasi" merupakan fantasi tanpa harapan yang realitas fisiknya tidak mungkin.

"Model alam semesta kuantum" adalah usaha lain untuk membersihkan teori Dentuman Besar dari implikasi penciptaannya. Pendukung model ini mendasarkannya pada observasi fisika kuantum (subatomik). Dalam fisika kuantum, diamati bahwa partikel-partikel subatomik muncul dan menghilang secara spontan dalam ruang hampa. Menginterpretasikan pengamatan ini sebagai "materi dapat muncul pada tingkat kuantum, ini merupakan sebuah sifat yang berkenaan dengan materi", beberapa ahli fisika mencoba menjelaskan asal materi dari ketiadaan selama penciptaan alam semesta sebagai "sifat yang berkenaan dengan materi" dan menyatakannya sebagai bagian dari hukum-hukum alam. Dalam model ini, alam semesta kita diinterpretasikan sebagai partikel subatomik di dalam partikel yang lebih besar.

Akan tetapi, silogisme ini sama sekali tidak mungkin dan bagaimanapun tidak bisa menjelaskan bagaimana alam semesta terjadi. William Lane Craig, penulis The Big Bang: Theism and Atheism, menjelaskan alasannya:

Ruang hampa mekanis kuantum yang menghasilkan partikel materi adalah jauh dari gagasan umum tentang "ruang hampa" (yang berarti tidak ada apa-apa). Melainkan, ruang hampa kuantum adalah lautan partikel yang terus-menerus terbentuk dan menghilang, yang meminjam energi dari ruang hampa untuk keberadaan mereka yang singkat. Ini bukan "ketiadaan", sehingga partikel materi tidak muncul dari "ketiadaan".10

Jadi, dalam fisika kuantum, materi "tidak ada kalau sebelumnya tidak ada." Yang terjadi adalah bahwa energi lingkungan tiba-tiba menjadi materi dan tiba-tiba pula menghilang menjadi energi lagi. Singkatnya, tidak ada kondisi "keberadaan dari ketiadaan" seperti klaim mereka.

Dalam fisika, tidak lebih sedikit daripada yang terdapat dalam cabang-cabang ilmu alam lain, terdapat ilmuwan-ilmuwan ateis yang tidak ragu menyamarkan kebenaran dengan mengabaikan titik-titik kritis dan detail-detail dalam usaha mereka mendukung pandangan materialis dan mencapai tujuan mereka. Bagi mereka, jauh lebih penting mempertahankan materialisme dan ateisme daripada mengungkapkan fakta-fakta dan kenyataan ilmiah.

Dihadapkan pada realitas yang disebutkan di atas, kebanyakan ilmuwan membuang model alam semesta kuantum. C.J Isham menjelaskan bahwa "model ini tidak diterima secara luas karena kesulitan-kesulitan yang dibawanya." 11 Bahkan sebagian pencetus gagasan ini, seperti Brout dan Spindel, telah meninggalkannya.12

Sebuah versi terbaru yang dipublikasikan lebih luas dari model alam semesta kuantum diajukan oleh ahli fisika, Stephen Hawking. Dalam bukunya, A Brief History of Time, Hawking menyatakan bahwa Dentuman Besar tidak harus berarti keberadaan dari ketiadaan. Alih-alih "tiada waktu" sebelum Dentuman Besar, Hawking mengajukan konsep "waktu imajiner". Menurut Hawking, hanya ada selang waktu imajiner 1043 detik sebelum Dentuman Besar terjadi dan waktu "nyata" terbentuk setelah itu. Harapan Hawking ha nyalah untuk mengabaikan kenyataan "ketiadaan waktu" (timelessness) sebelum Dentuman Besar dengan gagasan waktu "imajiner" ini.

Stephen Hawking juga mencoba mengajukan penjelasan berbeda untuk Ledakan Besar selain Penciptaan seperti yang dilakukan ilmuwan materialis lainnya dengan mengandalkan kontradiksi dan konsep keliru.

Sebagai sebuah konsep, "waktu imajiner" sama saja dengan nol atau seperti "tidak ada"nya jumlah imajiner orang dalam ruangan atau jumlah imajiner mobil di jalan. Di sini Hawking hanya bermain dengan kata-kata. Dia menyatakan bahwa persamaan itu benar kalau mereka dihubungkan dengan waktu imajiner, namun kenyataannya ini tidak ada artinya. Ahli matematika, Sir Herbert Dingle, menyebut kemungkinan memalsukan hal-hal imajiner sebagai hal nyata dalam matematika sebagai:

Dalam bahasa matematika, kita bisa mengatakan kebohongan di samping kebenaran, dan dalam cakupan matematika sendiri, tidak ada cara yang mungkin untuk membedakan satu dengan lainnya. Kita dapat membedakan keduanya hanya dengan pengalaman atau dengan penalaran di luar matematika, yang diterapkan pada hubungan yang mungkin antara solusi matematika dan korelasi fisiknya.13

Singkatnya, solusi imajiner atau teoretis matematika tidak perlu mengandung konsekuensi benar atau nyata. Menggunakan sifat yang hanya dimiliki matematika, Hawking menghasilkan hipotesis yang tidak berkaitan dengan kenyataan. Namun apa alasan yang mendorongnya melakukan ini? Hawking mengakui bahwa dia lebih menyukai model alam semesta selain dari Dentuman Besar karena yang terakhir ini "mengisyaratkan penciptaan ilahiah", dan model-model seperti itu dirancang untuk ditentang.14

Semua ini menunjukkan bahwa model alternatif dari Dentuman Besar, seperti keadaan-stabil, model alam semesta berosilasi, dan model alam semesta kuantum, kenyataannya timbul dari prasangka filosofis materialis. Penemuan-penemuan ilmiah telah menunjukkan realitas Dentuman Besar dan bahkan dapat menjelaskan "keberadaan dari ketiadaan". Dan ini merupakan bukti sangat kuat bahwa alam semesta diciptakan oleh Allah, satu hal yang mentah-mentah ditolak materialis.

Sebuah contoh penolakan Dentuman Besar bisa ditemukan dalam esai oleh John Maddox, editor majalah Nature (majalah materialis), yang muncul pada tahun 1989. Dalam "Down with the Big Bang", Maddox menyatakan Dentuman Besar tidak dapat diterima secara filosofis karena teori ini membantu teologis dengan menyediakan dukungan kuat untuk gagasan-gagasan mereka. Penulis itu juga meramalkan bahwa Dentuman Besar akan runtuh dan bahwa dukungan untuknya akan menghilang dalam satu dekade.15 Maddox hanya bisa merasa semakin resah karena penemuan-penemuan selama sepuluh tahun berikutnya memberikan bukti semakin kuat akan keberadaan Dentuman Besar.

Sebagian materialis bertindak dengan lebih menggunakan akal sehat mengenai hal ini. Materialis Inggris, H.P. Lipson menerima kebenaran penciptaan, meskipun "tidak dengan senang hati", ketika dia berkata:

Jika materi hidup bukan disebabkan oleh interaksi atom-atom, kekuatan alam, dan radiasi, bagaimana dia muncul?.... Namun saya pikir, kita harus... mengakui bahwa satu-satunya penjelasan yang bisa diterima adalah penciptaan. Saya tahu bahwa ini sangat dibenci para ahli fisika, demikian pula saya, namun kita tidak boleh menolak apa yang tidak kita sukai jika bukti eksperimental mendukungnya.16

Sebagai kesimpulan, kebenaran yang terungkap oleh ilmu alam adalah: Materi dan waktu telah dimunculkan menjadi ada oleh pemilik kekuatan besar yang mandiri, oleh Pencipta. Allah, Pemilik kekuatan, pengetahuan, dan kecerdasan mutlak, telah menciptakan alam semesta tempat tinggal kita.

Tanda-Tanda Al Quran

Selain menjelaskan alam semesta, model Dentuman Besar mempunyai implikasi penting lain. Seperti yang ditunjukkan dalam kutipan dari Anthony Flew di atas, ilmu alam telah membuktikan pandangan yang selama ini hanya didukung oleh sumber-sumber agama.

Kebenaran yang dipertahankan oleh sumber-sumber agama adalah realitas penciptaan dari ketiadaan. Ini telah dinyatakan dalam kitab-kitab suci yang telah berfungsi sebagai penunjuk jalan bagi manusia selama ribuan tahun. Dalam semua kitab suci seperti Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, dan Al Quran, dinyatakan bahwa alam semesta dan segala isinya diciptakan dari ketiadaan oleh Allah.

Dalam satu-satunya kitab yang diturunkan Allah yang telah bertahan sepenuhnya utuh, Al Quran, ada pernyataan tentang penciptaan alam semesta dari ketiadaan, di samping bagaimana kemunculannya sesuai dengan ilmu pengetahuan abad ke-20, meskipun diungkapkan 14 abad yang lalu.

Pertama, penciptaan alam semesta dari ketiadaan diungkapkan dalam Al Quran sebagai berikut:

"Dia pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai istri. Dia menciptakan segala sesuatu dan Dia mengetahui segala sesuatu." (QS. Al An'aam, 6: 101)

Aspek penting lain yang diungkapkan dalam Al Quran empat belas abad sebelum penemuan modern Dentuman Besar dan temuan-temuan yang berkaitan dengannya adalah bahwa ketika diciptakan, alam semesta menempati volume yang sangat kecil:

"Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan daripada air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?" (QS. Al Anbiyaa', 21: 30)

Terjemahan ayat di atas mengandung pemilihan kata yang sangat penting dalam bahasa aslinya, bahasa Arab. Kata ratk diterjemahkan sebagai "suatu yang padu" yang berarti "bercampur, bersatu" dalam kamus bahasa Arab. Kata itu digunakan untuk merujuk dua zat berbeda yang menjadi satu. Frasa "Kami pisahkan" diterjemahkan dari kata kerja bahasa Arab, fatk yang mengandung makna bahwa sesuatu terjadi dengan memisahkan atau menghancurkan struktur ratk. Tumbuhnya biji dari tanah adalah salah satu tindakan yang menggunakan kata kerja ini.

Mari kita tinjau lagi ayat tersebut dengan pengetahuan ini di benak kita. Dalam ayat itu, langit dan bumi pada mulanya berstatus ratk. Mereka dipisahkan (fatk) dengan satu muncul dari yang lainnya. Menariknya, para ahli kosmologi berbicara tentang "telur kosmik" yang mengandung semua materi di alam semesta sebelum Dentuman Besar. Dengan kata lain, semua langit dan bumi terkandung dalam telur ini dalam kondisi ratk. Telur kosmik ini meledak dengan dahsyat menyebabkan materinya menjadi fatk dan dalam proses itu terciptalah struktur keseluruhan alam semesta.

Kebenaran lain yang terungkap dalam Al Quran adalah pengembangan jagat raya yang ditemukan pada akhir tahun 1920-an. Penemuan Hubble tentang pergeseran merah dalam spektrum cahaya bintang diungkapkan dalam Al Quran sebagai berikut:

"Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesung-guhnya Kami benar-benar meluaskannya." (QS. Adz-Dzaariyat, 51: 47)

Singkatnya, temuan-temuan ilmu alam modern mendukung kebenaran yang dinyatakan dalam Al Quran dan bukan dogma materialis. Materialis boleh saja menyatakan bahwa semua itu "kebetulan", namun fakta yang jelas adalah bahwa alam semesta terjadi sebagai hasil penciptaan dari pihak Allah dan satu-satunya pengetahuan yang benar tentang asal mula alam semesta ditemukan dalam firman Allah yang diturunkan kepada kita.